Rabu, 25 November 2009

MoU - QURBAN dan HAJI

Memorandum of Understanding
QURBAN dan HAJI
QURBAN
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada “Al-mukhbitin” (orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)) (Ref: AlHajj: 34)
Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir-nya, menyebutkan bahwa ibadah Qurban sebagaimana yang telah disebutkan di awal ayat diatas, perintah berkurban sudah diperintahkan sejak dulu di setiap melalui para Nabi. Perintah Qurban itu diiringkan dengan perintah supaya menyebut nama Allah atas qurban yang disembelih sebagaimana ketika Rasulullah datang membawa dua ekor domba bagus dan bertanduk, beliau menyebut nama Allah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas pelipis dua ekor domba tersebut. (Ref: hadits dari Anas dalam As-Shahihain).
Di kalimat selanjutnya “maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.”, menerangkan bahwa para Nabi meskipun syariatnya bermacam-macam, keseluruhannya menyeru untuk menyerukan Tiada Tuhan Selain Allah dan beribadah kepada-Nya.
Meski ulama berbeda mengartikan definisi Al-Mukhbitin, namun Alangkah indah penjelasan Allah di ayat selanjutnya: (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. (Ref: AlHajj: 35).
  1. Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka. Orang yang disebut ini sudah barang tentu orang-orang yang dalam hatinya takut kepada Allah. Yang di dalam pikirnya sibuk dengan urusan ukhrawi sampai-sampai harus diingatkan oleh Allah untuk tidak melupakan dunianya. Lantas, sudahkah para hamba Allah yang mengurbankan sebagian rizkinya untuk disumbangkan (qurban) benar-benar menjalankannya karena takutnya pada Allah atau sekedar gengsi karena takut dibilang bakhil oleh orang lain?
  2. Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka. Sabar tak hanya ketika mendapatkan musibah, namun mereka yang sabar tatkala diberikan kesenangan. (Jarang sekali, sungguh jarang sekali). Lebih klimaks lagi, sabar tatkala melaksanakan taat kepada Allah. Ujian itu kadang tidak disadari. Sering sekali terlintas setiap selesai solat fardhu, “setelah ini, solat sunah tidak ya?” atau “ah, ngapain dzikir lama-lama di masjid”. Justru disinilah, setiap insan diuji kesabarannya serta kesadaran akan ujian yang datang setiap saat dalam berbagai bentuknya.
  3. Orang-orang yang mendirikan sembahyang. Jumhur ulama menyatakan bahwa kalimat ini diartikan secara idhafat bahwa yang dimaksud ialah orang-orang yang memenuhi haknya Allah yakni dengan menjalankan kewajiban/fardhu-fadhu yang telah ditetapkan.
  4. Orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rizkikan kepada mereka. Poin keempat inilah, yang menjadi fokus dhohir kegiatan ibadah Qurban sebagai bentuk muamalah / sosial. Karena inti perintah Allah kepada Hamba-Nya ada dua: Mengagungkan Allah dan tidak menyakiti manusia/sekitar. (Ref: Kitab Nashoihul Ibad)

HAJI
Mari kita simak hadits berikut, Nabi bersabda: “Siapa yang tidak mempunyai kebutuhan yang sangat pokok, penyakit yang parah, atau penguasa yang lalim yang menghalanginya dari naik haji lalu ia meninggal dunia sebelum menunaikan ibadah haji, maka boleh jadi ia mati sebagai orang Yahudi dan Nasrani.” (Ref: AlHadits) Ya Allah Rabbi, Na’udzubillahi min Dzalika.
Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim segera menunaikan haji di saat mampu. Jangan sampai ditunda kesempatan baik tersebut, sebab bisa saja ia keholangan kesempatan itu dikarenakan meninggal dunia, maka kewaajiban itu tetap menjadi tanggunganmu hingga nanti dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ceroboh seperti tersirat dari hadits diatas.
Pernyataan diatas tidak jauh maknanya dengan ayat Allah berikut ini:

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh“(Ref: Al-Hajj:27)

Lantas, apa saja yang perlu dipersiapkan dan dilakukan terkait ibadah haji? Sayyid Abdullah bin Alwi AlHabsyi selanjutnya menjelaskan dalam kitabnya, Risalatul Muawanah, 3 poin sebagai berikut:
  1. Sebelum menunaikan haji, diwajibkan mempelajari kewajiban, sunnah, dan dzikr yang berkaitan dengan manasik haji, segala sesuatu yang berkaitan dengan Ka’bah, keringanan di perjalanan.
  2. Jangan campuri ibadah haji dengan perniagaan. Sebaiknya jangan membawa kekayaan berlebihan melainkan cukup harta untuk biaya hidup selama perjalanan serta jauhi pula segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi dalam ibadah dan mengagungkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi.
  3. Jangan lupa berziarah ke kubur Nabi seperti yang beliau perintahkan dalam haditsnya yang mu’tabar. Karena berziarah sesudah wafat beliau sama fadhilahnya dengan seperti ziarah saat beliau hidup. Sesungguhnya Rasulullah dan para Nabi sebelumnya senantiasa hidup.
Sungguh kurang sopan bagi seseorang yang berhaji tanpa berziarah ke kubur beliau sedangkan ia tak mempunyai uzur yang dibenarkan oleh syariat.

Ketahuilah, seandainya Anda sengaja datang dari negeri Islam yang jauh langsung untuk berziarah kepada Nabi SAW, Anda masih belum mampu memenuhi hak syukur atas nikmat hidayat yang diberikan Allah SWT kepada Anda melalui perantaraan beliau SAW (karena begitu besarnya jasa Nabi SAW). Apalagi yang tidak ziarah?

Tujuh Takbir …

Tujuh Takbir …
 
… ALLAHU AKBAR WA LILLAAHILHAMDU
Allahu akbar!

Bayangkan Anda sudah lama sekali kepingin mempunyai anak; kemudian setelah hampir putus asa, Allah menganugerahi Anda seorang anak yang luar biasa cantik. Anak itu kemudian tumbuh sebagai anak yang baik dan pintar. Kemudian setelah menginjak remaja, tiba-tiba anak Anda itu meninggal. Bagaimana kira-kira perasaan anda?

Allahu Akbar!
Nabi Ibrahim -'alaihis salaam- seperti diketahui, sudah lama ingin mempunyai anak dan baru ketika sudah sangat tua Allah menganugerahi seorang anak yang rupawan dan pintar, nabi Ismail -alaihis salaam. Dan cerita selanjutnya Anda sudah tahu. Nabi Ismail a.s. tidak 'hanya' meninggal, tapi sang ayah sendiri diminta untuk menyembelihnya. Anda pasti tidak bisa membayangkannya. Bagaimana seorang ayah yang sudah lama mendambakan anak, ketika dambaan itu akhirnya terwujud dan si anak sudah ketok moto (baca: di depan mata), disuruh menyembelih.

Bagi kacamata kita, terutama di zaman akhir ini, hal itu tentu sangat musykil. Antara lain karena kita sudah terbiasa dengan sikap kemilikan, suka memiliki. Jangankan yang milik kita sendiri, milik orang lain pun sering kali kita ingin miliki atau kalau bisa kita rampas untuk kita sayang-sayang. Dan adakah hak milik yang lebih berharga dan lebih kita sayangi melebihi anak, belahan hati?

Tapi, Allahu Akbar!

Nabi Ibrahim a.s. yang dijuluki KhalilulLah itu sama sekali tidak merasa musykil. Karena bagi sang kekasih Allah itu, gerak-gerik lahir maupun batinnya berawal dari Kekasih Agungnya, Allah SWT. Ialah yang pertama dan paling utama (Bandingkan dengan kebanyakan kita yang memposisikan Allah di paling belakang. Biasanya setelah kepepet!). Maka bukan Ismail belahan hatinya, bukan kenangan pendambaan dan kebahagiaannya bersama puteranya itu, bukan perintah menyembelihnya, bukan bayangan kehilangan sesudahnya, dan bukan sesuatu apapun yang lain; yang pertama-tama tersirat saat diperintah -seperti setiap saat- adalah Sang Kekasih yang memerintah.

Allahu Akbar!
Barangkali yang tersisa dari rasa sayang manusiawinya hanyalah yang menampak dari pemberitahuannya kepada sang putera, "Ya bunayya, inni aaraa fil manaami anni adzbahuka, fandhur madzaa taraa?!", "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam tidurku, aku menyembelihmu; maka pertimbangkanlah, apa pendapatmu?" Dan, Bak Bapak Bak Anak, Kacang ora tinggal lanjarane, jawaban Nabi Ismail a.s. pun menunjukkan kualitasnya sebagai hamba Allah yang titik pandang dan pertimbangannya bermula dari-Nya, "Ya abati if'al maa tu'mar, satajidunie insya Allahu minash-shaabirien.", "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk orang-orang yang tabah."

Allahu Akbar!
Dua pengorbanan agung dari dua hamba Allah yang begitu total kepasrahannya. Demi Tuhan mereka, yang satu mengikhlaskan miliknya yang paling disayang: anaknya; yang lain mengikhlaskan nyawanya sendiri. Maka adalah nyata apa yang mereka nyatakan, "Inna shalaatie wa nusukie wa mahyaaya wa mamaati lillahi Rabbil 'aalamien. Laa syarieka lahu wabidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimien.", "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah milik Allah Tuhan semesta alam, tak ada yang ikut memiliki bersamanya; dan dengan yang demikian itulah aku diperintah dan akulah yang pertama-tama menyerahkan diri kepadaNya."

Allahu Akbar!
Alangkah jauhnya teladan itu dari kita. Sekedar mengorbankan sedikit saja dari apa yang kita anggap milik kita, rasanya berat bagi kita. Apalagi menyadari bahwa semua yang ada pada kita pada hakikatnya milik Allah semata. Kita memerlukan berbagai kiat dan rekayasa dalam memotivasi diri kita untuk sekedar merelakan sebagian kecil 'milik' kita. Untuk membeli seekor kambing saja, kadang-kadang kita harus menghitung-hitung dan mempertimbangkan dari berbagai sudut, dari segi untung-rugi, dsb. Seringkali setelah pertimbangan yang njelimet, akhirnya kita tidak jadi membeli kambing. Kalau pun akhirnya jadi membeli untuk kurban demi Allah, kita pun memasang harapan pahala berlipat-ganda.

Itu tidak hanya yang berkaitan dengan harta 'milik' kita yang bersifat materi. Di luar itu, ada yang lebih tidak tersadari oleh kebanyakan kita. Acap kali untuk memenuhi perintah Allah, kita begitu bakhil berkorban. Misalnya untuk memenuhi perintah persaudaraan, kita enggan mengorbankan sedikit penghormatan kepada sikap orang lain atau sekedar mendengarkan pendapatnya. Semua orang Islam yang naik haji, sudah pasti mendambakan ibadah hajinya mabrur. Ironinya, karena keinginan yang begitu besar mendapatkan haji mabrur, banyak yang enggan berkorban bagi kepentingan mulia lain yang juga diperintahkan Allah atau bagi menjauhi larangan-Nya. Tengoklah mereka yang bertengkar (dilarang Quran dengan firman, "wa laa jidaala") berebut shaf salat atau tempat-tempat mustajab. Atau yang lebih parah lagi, tengoklah mereka yang 'mati-matian' berusaha mencium Hajar Aswad itu. Tak ada satu pun di antara mereka yang rela berkorban untuk saudaranya sesama muslim, bahkan perilaku mereka yang menyikut kesana-kemari itu, mengesankan seolah-olah mereka sedang melakukan 'jihad fi sabilillah' dan menganggap saudara-saudara mereka yang lain adalah musuh-musuh mereka.

Allahu Akbar!
Orang yang terlalu menyintai apa yang dianggap miliknya -termasuk dirinya, pendapat, dan pendiriannya sendiri- sangat sukar dibayangkan dapat membuktikan cintanya kepada Allah melalui pengorbanan yang tulus. Maka sikap yang terbaik -tentu saja- seperti yang diajarkan Pemimpin Agung kita nabi Muhammad SAW, ialah sikap tawassuth, sederhana, sak madiyo, tengah-tengah dalam segala hal; termasuk dalam menyintai dan membenci. Dengan demikian kita akan dapat memurnikan pemujaan kita kepada-Nya sendiri dan ringan berkorban untuk-Nya.

Wallahu a'lam. Selamat berhari raya!
Min syaikhi…
KH Mustofa Bisri