Rabu, 25 November 2009

MoU - QURBAN dan HAJI

Memorandum of Understanding
QURBAN dan HAJI
QURBAN
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada “Al-mukhbitin” (orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)) (Ref: AlHajj: 34)
Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir-nya, menyebutkan bahwa ibadah Qurban sebagaimana yang telah disebutkan di awal ayat diatas, perintah berkurban sudah diperintahkan sejak dulu di setiap melalui para Nabi. Perintah Qurban itu diiringkan dengan perintah supaya menyebut nama Allah atas qurban yang disembelih sebagaimana ketika Rasulullah datang membawa dua ekor domba bagus dan bertanduk, beliau menyebut nama Allah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas pelipis dua ekor domba tersebut. (Ref: hadits dari Anas dalam As-Shahihain).
Di kalimat selanjutnya “maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.”, menerangkan bahwa para Nabi meskipun syariatnya bermacam-macam, keseluruhannya menyeru untuk menyerukan Tiada Tuhan Selain Allah dan beribadah kepada-Nya.
Meski ulama berbeda mengartikan definisi Al-Mukhbitin, namun Alangkah indah penjelasan Allah di ayat selanjutnya: (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. (Ref: AlHajj: 35).
  1. Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka. Orang yang disebut ini sudah barang tentu orang-orang yang dalam hatinya takut kepada Allah. Yang di dalam pikirnya sibuk dengan urusan ukhrawi sampai-sampai harus diingatkan oleh Allah untuk tidak melupakan dunianya. Lantas, sudahkah para hamba Allah yang mengurbankan sebagian rizkinya untuk disumbangkan (qurban) benar-benar menjalankannya karena takutnya pada Allah atau sekedar gengsi karena takut dibilang bakhil oleh orang lain?
  2. Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka. Sabar tak hanya ketika mendapatkan musibah, namun mereka yang sabar tatkala diberikan kesenangan. (Jarang sekali, sungguh jarang sekali). Lebih klimaks lagi, sabar tatkala melaksanakan taat kepada Allah. Ujian itu kadang tidak disadari. Sering sekali terlintas setiap selesai solat fardhu, “setelah ini, solat sunah tidak ya?” atau “ah, ngapain dzikir lama-lama di masjid”. Justru disinilah, setiap insan diuji kesabarannya serta kesadaran akan ujian yang datang setiap saat dalam berbagai bentuknya.
  3. Orang-orang yang mendirikan sembahyang. Jumhur ulama menyatakan bahwa kalimat ini diartikan secara idhafat bahwa yang dimaksud ialah orang-orang yang memenuhi haknya Allah yakni dengan menjalankan kewajiban/fardhu-fadhu yang telah ditetapkan.
  4. Orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rizkikan kepada mereka. Poin keempat inilah, yang menjadi fokus dhohir kegiatan ibadah Qurban sebagai bentuk muamalah / sosial. Karena inti perintah Allah kepada Hamba-Nya ada dua: Mengagungkan Allah dan tidak menyakiti manusia/sekitar. (Ref: Kitab Nashoihul Ibad)

HAJI
Mari kita simak hadits berikut, Nabi bersabda: “Siapa yang tidak mempunyai kebutuhan yang sangat pokok, penyakit yang parah, atau penguasa yang lalim yang menghalanginya dari naik haji lalu ia meninggal dunia sebelum menunaikan ibadah haji, maka boleh jadi ia mati sebagai orang Yahudi dan Nasrani.” (Ref: AlHadits) Ya Allah Rabbi, Na’udzubillahi min Dzalika.
Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim segera menunaikan haji di saat mampu. Jangan sampai ditunda kesempatan baik tersebut, sebab bisa saja ia keholangan kesempatan itu dikarenakan meninggal dunia, maka kewaajiban itu tetap menjadi tanggunganmu hingga nanti dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ceroboh seperti tersirat dari hadits diatas.
Pernyataan diatas tidak jauh maknanya dengan ayat Allah berikut ini:

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh“(Ref: Al-Hajj:27)

Lantas, apa saja yang perlu dipersiapkan dan dilakukan terkait ibadah haji? Sayyid Abdullah bin Alwi AlHabsyi selanjutnya menjelaskan dalam kitabnya, Risalatul Muawanah, 3 poin sebagai berikut:
  1. Sebelum menunaikan haji, diwajibkan mempelajari kewajiban, sunnah, dan dzikr yang berkaitan dengan manasik haji, segala sesuatu yang berkaitan dengan Ka’bah, keringanan di perjalanan.
  2. Jangan campuri ibadah haji dengan perniagaan. Sebaiknya jangan membawa kekayaan berlebihan melainkan cukup harta untuk biaya hidup selama perjalanan serta jauhi pula segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi dalam ibadah dan mengagungkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi.
  3. Jangan lupa berziarah ke kubur Nabi seperti yang beliau perintahkan dalam haditsnya yang mu’tabar. Karena berziarah sesudah wafat beliau sama fadhilahnya dengan seperti ziarah saat beliau hidup. Sesungguhnya Rasulullah dan para Nabi sebelumnya senantiasa hidup.
Sungguh kurang sopan bagi seseorang yang berhaji tanpa berziarah ke kubur beliau sedangkan ia tak mempunyai uzur yang dibenarkan oleh syariat.

Ketahuilah, seandainya Anda sengaja datang dari negeri Islam yang jauh langsung untuk berziarah kepada Nabi SAW, Anda masih belum mampu memenuhi hak syukur atas nikmat hidayat yang diberikan Allah SWT kepada Anda melalui perantaraan beliau SAW (karena begitu besarnya jasa Nabi SAW). Apalagi yang tidak ziarah?

Tujuh Takbir …

Tujuh Takbir …
 
… ALLAHU AKBAR WA LILLAAHILHAMDU
Allahu akbar!

Bayangkan Anda sudah lama sekali kepingin mempunyai anak; kemudian setelah hampir putus asa, Allah menganugerahi Anda seorang anak yang luar biasa cantik. Anak itu kemudian tumbuh sebagai anak yang baik dan pintar. Kemudian setelah menginjak remaja, tiba-tiba anak Anda itu meninggal. Bagaimana kira-kira perasaan anda?

Allahu Akbar!
Nabi Ibrahim -'alaihis salaam- seperti diketahui, sudah lama ingin mempunyai anak dan baru ketika sudah sangat tua Allah menganugerahi seorang anak yang rupawan dan pintar, nabi Ismail -alaihis salaam. Dan cerita selanjutnya Anda sudah tahu. Nabi Ismail a.s. tidak 'hanya' meninggal, tapi sang ayah sendiri diminta untuk menyembelihnya. Anda pasti tidak bisa membayangkannya. Bagaimana seorang ayah yang sudah lama mendambakan anak, ketika dambaan itu akhirnya terwujud dan si anak sudah ketok moto (baca: di depan mata), disuruh menyembelih.

Bagi kacamata kita, terutama di zaman akhir ini, hal itu tentu sangat musykil. Antara lain karena kita sudah terbiasa dengan sikap kemilikan, suka memiliki. Jangankan yang milik kita sendiri, milik orang lain pun sering kali kita ingin miliki atau kalau bisa kita rampas untuk kita sayang-sayang. Dan adakah hak milik yang lebih berharga dan lebih kita sayangi melebihi anak, belahan hati?

Tapi, Allahu Akbar!

Nabi Ibrahim a.s. yang dijuluki KhalilulLah itu sama sekali tidak merasa musykil. Karena bagi sang kekasih Allah itu, gerak-gerik lahir maupun batinnya berawal dari Kekasih Agungnya, Allah SWT. Ialah yang pertama dan paling utama (Bandingkan dengan kebanyakan kita yang memposisikan Allah di paling belakang. Biasanya setelah kepepet!). Maka bukan Ismail belahan hatinya, bukan kenangan pendambaan dan kebahagiaannya bersama puteranya itu, bukan perintah menyembelihnya, bukan bayangan kehilangan sesudahnya, dan bukan sesuatu apapun yang lain; yang pertama-tama tersirat saat diperintah -seperti setiap saat- adalah Sang Kekasih yang memerintah.

Allahu Akbar!
Barangkali yang tersisa dari rasa sayang manusiawinya hanyalah yang menampak dari pemberitahuannya kepada sang putera, "Ya bunayya, inni aaraa fil manaami anni adzbahuka, fandhur madzaa taraa?!", "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam tidurku, aku menyembelihmu; maka pertimbangkanlah, apa pendapatmu?" Dan, Bak Bapak Bak Anak, Kacang ora tinggal lanjarane, jawaban Nabi Ismail a.s. pun menunjukkan kualitasnya sebagai hamba Allah yang titik pandang dan pertimbangannya bermula dari-Nya, "Ya abati if'al maa tu'mar, satajidunie insya Allahu minash-shaabirien.", "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk orang-orang yang tabah."

Allahu Akbar!
Dua pengorbanan agung dari dua hamba Allah yang begitu total kepasrahannya. Demi Tuhan mereka, yang satu mengikhlaskan miliknya yang paling disayang: anaknya; yang lain mengikhlaskan nyawanya sendiri. Maka adalah nyata apa yang mereka nyatakan, "Inna shalaatie wa nusukie wa mahyaaya wa mamaati lillahi Rabbil 'aalamien. Laa syarieka lahu wabidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimien.", "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah milik Allah Tuhan semesta alam, tak ada yang ikut memiliki bersamanya; dan dengan yang demikian itulah aku diperintah dan akulah yang pertama-tama menyerahkan diri kepadaNya."

Allahu Akbar!
Alangkah jauhnya teladan itu dari kita. Sekedar mengorbankan sedikit saja dari apa yang kita anggap milik kita, rasanya berat bagi kita. Apalagi menyadari bahwa semua yang ada pada kita pada hakikatnya milik Allah semata. Kita memerlukan berbagai kiat dan rekayasa dalam memotivasi diri kita untuk sekedar merelakan sebagian kecil 'milik' kita. Untuk membeli seekor kambing saja, kadang-kadang kita harus menghitung-hitung dan mempertimbangkan dari berbagai sudut, dari segi untung-rugi, dsb. Seringkali setelah pertimbangan yang njelimet, akhirnya kita tidak jadi membeli kambing. Kalau pun akhirnya jadi membeli untuk kurban demi Allah, kita pun memasang harapan pahala berlipat-ganda.

Itu tidak hanya yang berkaitan dengan harta 'milik' kita yang bersifat materi. Di luar itu, ada yang lebih tidak tersadari oleh kebanyakan kita. Acap kali untuk memenuhi perintah Allah, kita begitu bakhil berkorban. Misalnya untuk memenuhi perintah persaudaraan, kita enggan mengorbankan sedikit penghormatan kepada sikap orang lain atau sekedar mendengarkan pendapatnya. Semua orang Islam yang naik haji, sudah pasti mendambakan ibadah hajinya mabrur. Ironinya, karena keinginan yang begitu besar mendapatkan haji mabrur, banyak yang enggan berkorban bagi kepentingan mulia lain yang juga diperintahkan Allah atau bagi menjauhi larangan-Nya. Tengoklah mereka yang bertengkar (dilarang Quran dengan firman, "wa laa jidaala") berebut shaf salat atau tempat-tempat mustajab. Atau yang lebih parah lagi, tengoklah mereka yang 'mati-matian' berusaha mencium Hajar Aswad itu. Tak ada satu pun di antara mereka yang rela berkorban untuk saudaranya sesama muslim, bahkan perilaku mereka yang menyikut kesana-kemari itu, mengesankan seolah-olah mereka sedang melakukan 'jihad fi sabilillah' dan menganggap saudara-saudara mereka yang lain adalah musuh-musuh mereka.

Allahu Akbar!
Orang yang terlalu menyintai apa yang dianggap miliknya -termasuk dirinya, pendapat, dan pendiriannya sendiri- sangat sukar dibayangkan dapat membuktikan cintanya kepada Allah melalui pengorbanan yang tulus. Maka sikap yang terbaik -tentu saja- seperti yang diajarkan Pemimpin Agung kita nabi Muhammad SAW, ialah sikap tawassuth, sederhana, sak madiyo, tengah-tengah dalam segala hal; termasuk dalam menyintai dan membenci. Dengan demikian kita akan dapat memurnikan pemujaan kita kepada-Nya sendiri dan ringan berkorban untuk-Nya.

Wallahu a'lam. Selamat berhari raya!
Min syaikhi…
KH Mustofa Bisri

Selasa, 24 November 2009

Sayap-sayap Muslim, Keseimbangan Menuju Aktualisasi Islam

Sayap-sayap Muslim, Keseimbangan Menuju Aktualisasi Islam
Sebuah Refleksi Awal dari Rajab ke Sya’ban Menuju Ramadhan

Benarkah manusia itu bersayap? Istilah pada judul tersebut hanyalah metafora saja. Namun bila dibandingkan dengan kupu-kupu, sayap merupakan hasil Metamorfosis. Nah, dalam diri manusia pun puasa dianggap sebagai proses purifikasi total yang mirip metamorfosis. Dari proses “mbrongsongi” lalu menjadi kepompong dan lahirlah sayap bagi ulat yang semula hina berubah menjadi kupu-kupu nan indah. Giliran pada manusia, bagaimana bentuk sayapnya dan adakah manfaat mbrongsongi” (metamorphosis) itu?

Teringat dengan kata-kata Cak Nun di salah satu tulisan “makan itu fungsinya untuk tidak makan” katanya. Maka, saya menyimpulkan puasa itu pula fungsinya untuk tidak puasa. Maksudnya, puasa akan berguna di saat tidak puasa. Begitu pula shalat berfungsi untuk saat tidak dalam posisi shalat, sebagaimana juga zakat berguna untuk sinergi berikutnya.

Jika puasa dimaknai sebagai proses “mbrongsongi” (metamorfosis) seperti ulat, maka tentu saja setelah masa puasa itu berlalu, si ulat telah lahir menjadi individu baru: kupu-kupu bersayap dan berwarna indah. Sayapnya berguna untuk menyebarkan benih-benih kehidupan bagi kembang-kembang yang tengah berbunga.
Berkat sayapnya itulah bunga-bunga berubah menjadi buah dan buah-buahan ini bisa dipetik dan dimakan oleh manusia dan hewan. Terjadilah keseimbangan proses energisasi dengan sinergi yang terus-menerus.

Sayap dalam Hadits dan Al Qur’an
Ulat itu bersayap. Malaikat pun digambarkan bersayap seperti dalam al quran dan hadits. Dalam paham Injil, malaikat dilambangkan dengan bocah cilik yang bersayap. Saya melihat gambar ini biasanya terpahat di nisan kuburan unit Kristen.

Ruzain bin Hubaisyin berkata: Ibnu Mas’ud menceritakan kepadaku: Bahwa Nabi s.a.w telah melihat Jibril a.s mempunyai enam ratus sayap. (Al bayan 107 hadits Riwayat Bukhari Muslim)
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t Yang Maha Memberkati lagi Maha Tinggi memiliki para Malaikat yang mempunyai kelebihan yang diberikan oleh Allah s.w.t. Para Malaikat selalu mengelilingi bumi. Para Malaikat sentiasa memerhati majlis-majlis zikir. Apabila mereka dapati ada satu majlis yang dipenuhi dengan zikir, mereka turut mengikuti majlis tersebut di mana mereka akan melingkunginya dengan sayap-sayap mereka sehinggalah memenuhi ruangan antara orang yang menghadiri majlis zikir tersebut dan langit. (Al Bayan 1573, HR. Bukhari Muslim dll.)

Sayap dalam Al Quran
Allah SWT berfirman:
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Fatir: 1)

Sayap bagi Manusia
 Sayap berfungsi untuk terbang, karenanya, mesti memiliki keseimbangan. Kapal terbang bersayap karena ia terbang. Pada sayapnya terdapat mesin. Mesin ini mesti seimbang perputarannya antara sayap kanan dan kiri. Demikian juga manusia harus memiliki “sayap” yang seimbang karena hakekatnya manusia itu terus-menerus bergerak melanglang buana. Al harokah barokah, kata pepatah arab: Bergerak itu adalah keberkahan (kebaikan) bagi manusia. Manusia yang tidak bergerak ya tentu tidak bisa terbang, kalaupun bisa, istilahnya klepek-klepek (kurang sempurna)

Tentu saja sayap yang dimaksud adalah sesuatu yang bisa berguna dan menjadi penyeimbang kehidupan. Ada banyak hal yang berkaitan dan semakna dengan sayap yang harus dimiliki manusia:

1. Keseimbangan antara fikir dan dzikir
Manusia yang “bersayap” akan mampu terbang dan bisa melanglang buana antara alam fikir dan alam dzikir. Tentu saja untuk bisa seimbang antara dua pola ini, ia membutuhkan sayap. Jika kanan-kiri ini tidak seimbang maka sebagaimana layang-layang akan miring sebelah, kapalpun akan jatuh. Juga si layang-layang tidak bisa terbang .

Orang yang berpatokan pada rasio semata tentu akan kewalahan saat menghadapi hal-hal irasional. Bagaimana mungkin mau mengeluarkan zakat yang tidak mendatangkan keuntungan materi. Begitu juga shalat, menghabiskan waktu saja. Apalagi puasa, dianggap hal bodoh karena hanya melemahkan produktivitas.

2. Keseimbangan antara Kerja dan Ibadah
Ibadah melulu dalam agama kurang disukai. Apalagi kerja melulu. Nabi saw pernah menegur seorang pemuda yang diam saja di masjid tapi tidak bekerja. Karya dalam sebuah kehidupan mesti terus digenjot untuk menghasilkan nilai produktivitas yang menghasilkan karya bermacam-macam dan bermanfaat bagi kehidupan.

Sementara Ibadah (shalat), menurut salah satu puisi Cak Nun, merupakan penyatuan dari segenap karya-karya itu. Maka di sini berarti, orang yang memiliki sayap antara kerja dan ibadah akan merasa seimbang dalam pengembaraan hidupnya. Mirip burung elang yang terbang indah di angkasa. Bayangkan! Bias-bisa elang itu akan stress jika sayapnya berat sebelah. Silahkan diteliti orang-orang yang stress dalam hidup, pasti “sayapnya” ada yang terluka di salah satunya.

Masalah Indonesia, "orang pinter" persoalannya ada pada kebodohan dan kemiskinan. Maka niscaya sekali sayap antara kerja dan Ibadah ini harus dipakai bangsa ini. Maka jangan tersinggung jika bangsa kita tidak memiliki keseimbangan sayap sehingga terbangnya jungkir balik. Si miskin yang cinta harta, tidak bisa terbang karena sayap ibadahnya rusak. Sementara pada si kaya terbangnya hanya miring ke kiri saja misalnya karena hanya memiliki orientasi keuntungan semata.

3. Keseimbangan Pola Pikir Manfaat &  Bahaya
Orang yang memiliki daya keseimbangan antara manfaat dan madorot dalam pola pikirnya saya kira akan terbantu sekali dalam setiap sikap dan prilakuknya: Hati-hati, tidak ceroboh dan berorientasi manfaat. Sayap ini tentu akan terasa sekali terlihat bagi orang-orang yang berfikir dalam.

Dale Carnagie dalam salah satu bukunya menyebutkan istilah AMBAK (apa manfaat bagiku) sebagai patokan berprilaku dan bertindak. Itu adalah sebuah pola pikir yang berorientasi pada manfaat. Jika “sayap” ini terjaga, niscaya orientasi manfaatlah yang selalu diusung oleh si individu “bersayap” manis ini.

4. Keseimbangan Hukum - Hakim
Logo timbangan digunakan oleh lembaga peradilan. Filosofinya sama, harus seimbang. Ini berarti hukum, hakim dan insan peradilan harus memiliki sayap yang seimbang. Karenanya, keadilan jangan hanya pada yang berduit saja. Jika kepada yang berduit ia bisa terbang, dan kepada si papa, sayapnya tidak bisa terbang, ini sangat ironis!

Jika hakim tidak bersayap seimbang, maka bukan lembaga peradilan namanya, tetapi lembaga pembela kesalahan. Indonesia sejatinya membutuhkan para hakim yang bersayap bagus untuk bisa terbang seimbang. Bisa ditonton oleh para penikmatnya.

5. Keseimbangan Dunia Akherat
Lebih spesifik adalah orang yang beragama berorientasi pada dunia akhirat. Sebab kata Nabi saw: Addunya mazroatul akhirah, dunia adalah sawahnya akherat. Percaya pada akherat (the day after) adalah rukun iman yang kelima. Maka jika tidak percaya pada hari tersebut, sangat dikhawatirkan seorang individu tidak bisa terbang ke akhirat. Sebab hanya memiliki sayap bermerek dunia saja, ia hanya bisa terbang melanglang buana di negeri dunia.

Dalam beberapa hadits yang mengajarkan sikap pluralitas bisa ditemui misalnya:
Diriwayatkan daripada Abu Syuraih al-Khuza’iy r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Sesiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya. Sesiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah dia memuliakan para tetamunya. Sesiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah dia bercakap hanya perkara yang baik atau diam. (HR. Bukhari Muslim. Al Bayan: 31)

Menurut Istrinya, Rasulullah saw paling sering berdoa dengan ungkapan : “Robbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhiratii hasanah waqinaa adzaabannaar” “Ya Allah berikanlah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat“

Praktek puasa hanya sebulan, tapi manfaatnya adalah untuk 11 bulan kedepan (bukan bulan puasa). Jika saja 11 bulan tidak bersinergi, tentu ada sesuatu pada sayap yang telah dihasilkan dari proses metamorfosenya. Ramadhan akan datang. Meski tinggal 1 bulan, bukankah seorang Muslim sejati akan merindukan bulan paling dimuliakan dari jauh-jauh hari?

Seorang Muslim akan terbang dengan penuh percaya diri jika sayapnya indah, kuat, seimbang, dan terbentang kokoh. Dari uraian di atas, masih banyak lagi sisi-sisi keseimbangan (sayap) yang berguna dalam menegakkan kalimah Al Islam Ya’lu walaa yu’la ‘alaih (Islam agama yang paling diatas, dan tak ada lagi yang berada di atasnya). Tapi jangan terlena, bukankah umumnya Islam mahjubun (terhalang) oleh (oknum) muslimnya sendiri? Saya dan anda bisa menambahkan lagi lebih banyak sisi untuk kebaikan dan kesejahteraan bumi dan alam ini. Bagaimana menurut Anda? Wallahu a’lam. KHA