Sabtu, 26 September 2009

Salaman Disertai Cium Tangan

Kalau kita lihat di pesantren-pesantren atau di tempat ada kyai atau habib, biasanya orang-orang (murid) bersalaman dengan kyai/gurunya itu dengan bersalaman sambil cium tangan. Sementara ada yang menentang bahwa bersalaman dengan cium tangan itu adalah bentuk dari warisan penjajah karena mengindikasikan hubungan antara majikan dan kaulanya. Memandang persepsi bahwa salaman disertai cium tangan sebagai suatu hal yang tercela merupakan kesalahan besar.
Bersalaman sambil mencium tangan merupakan adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang biasanya ada di pesantren atau kerap ada pada kaum santri. Jika di Arab Saudi jarang orang bersalaman saat bertemu melainkan dengan berpelukan atau "salam tempel" muka. Jadi hanyalah adat kebiasaan saja tidak merupakan syariat yang diharuskan.
Masing-masing bangsapun memiliki adatnya dalam hal berhubungan dengan penghormatan kepada orang lain. Seperti di Negeri Arab atau bahkan di Jepang dengan gaya mirip orang ruku dalam shalat orang Islam, saat bertemu dan bertegur sapa.




Syariat?




Jika ditanyakan bagaimana dengan tuntutan syariat adakah dalil yang mengaturnya, maka kita jawab ada dasar kenapa bersalaman sambil bercium tangan. Hal ini karena kebiasaan para sahabat Rasulullah saw dahulu. Beberapa atsar bisa ditemui di kitab-kitab hadits berikut ini:
Rupanya alasan feodalisme hanya akal-akalan saja sebab sumbernya belum jelas. Sedangkan ajaran shalihin tidak semata-mata berpatokan pada hukum logika, melainkan harus bersumber dari syari'at baik itu Qur'an maupun hadits dan kebiasaan para shahabat di sekitar Rasulullah saw. Khusus dalam masalah bersalaman sambil mencium tangan, banyak hadits-hadts atsar yang mengungkapkan bagaimana para sahabat dulu bersalaman dan bercium tangan. Salah satu sumbernya adalah hadits dan atsar di bawah ini:




عَنْ يَحْيَى بِنْ اَلْحَارِثِ اَلذَّمَارِى قَالَ: لَقِيْتُ وَائِلَةَ بْنِ اْلأَسْقَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقُلْتُ: بَايَعْتَ بَعْدَ هَذِه رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. فَقُلْتُ: اَعْطِنِى يَدَكَ أَقَبَلُهَا. فأَعْطَانِيْهَا فَقَبَّلْتُهَا. قَالَ اَلْهَيْثَمِى (ج 8 ص 42) وَفيه عبدالملك القارى ولم أعرفه. وبقيه رجاله ثقات
.
Arti bebas: Dari cerita Yahya bin Al Kharits Al Damari: "Saya bertemu Wailah bin al Asqa r.a. dan aku bertanya: 'Apkah anda baru saja berbaiat dengan Rasulullah saw? 'benar!', kalau begitu ulurkan tanganmu aku akan men cium. Maka Wailah memberika tangannya dan aku ciumi." Menurut Keterangan al Haitsami (Juz 8 hal 42) dan Abdul Malik al Qori dan orang lain yang tidak aku kenal, menetapkan bahwa sanadnya tsiqot (dapat dipercaya).




وَعِنْدَ أبي نَعِيْمٍ فىِ الْحِلْيَةِ (ج 9 ص 306) عَنْ يُوْنُسْ بِنْ مَيْسَرَة قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى يَزِيْدٍ بِنِ اْلأَسْوَدِ عَائِدَيْنِ فدخل عَلَيْهِ وَائِلَةَ بِنِ اْلأَسْقَعِ رَضِيَ الله عَنْهُ فَلَمَّا نَظَرَ إِلَيْهِ مَدَّ يَدَهُ فَأَخَذَ يَدَهُ فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ وَصَدْرَهُ لِأَنَّهُ بَايَعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ: يَازَيْدَ، كَيْفَ ظَنَّكَ بِرَبِّكَ؟ فَقَالَ: حَسَنٌ. فَقَالَ: فَأَبْشِرُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ "أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى" إِنَّ خَيْرًا فَخَيْرٌ وَإِنَّ شَرًّا فَشَرٌّ




Arti bebasnya: Menurut versi Abi Na'iim dalam Kitab Al Khilah (Juz 9 hal 306) menyebutkan: Yunus bin Maisaroh bercerita: 'Aku memasuki rumah Yazid bin al Aswad tiba-tiba datang Wailah bin al Asqo' r.a. Ketika melihat ada Wailah ra, Yazid mengulurkkan tangan dan menjabat tangan al Aswad ra kemudian mengusap wajahnya menggunakan tangan al Aswad ra setelah itu tangan al Aswad diletakkan di dadanya karena alasan bahwa al Aswad telah berjumpa Rasulullah saw.
Kemudian al Aswad ra bertanya kepada Yazid: 'Bagaimana perasaan kepada Tuhanmu?', 'Baik!', 'Aku beritahu bahwa aku telah mendengar Rasul saw telah medapat wahyu : 'Ana 'inda dzonni 'abdi bii' (artinya: Aku (Allah) tergantung atas persangkaan hamba kepadaKU). Jika memiliki sangkaan baik kepada Allah, maka demikian Allah berprasangka kepada hambaNya, begitu pula sebaliknya.




وَاَخْرَجَ الْبُخَارِيْ فِى اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ ص 144 عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ ابْنِ رَزِيْنٍ قَالَ: مَرَرْنَا بِالرُّبَذَةِ فَقِيْلَ لَنَا: هَهُنَا سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ، فَأَتَيْنَا فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ فَقَالَ: بَايَعْتَ بِهَاتَيْنِ نَبِىَّ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْرَجَ لَهُ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَ نَّهَا كَفَّ بَعِيْرٍ. فَقُمْنَا إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا. وَأَخْرَجَ اِبْنُ سَعْدٍ (ج 4 ص 29) عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدٍ اْلعِرَاقِى نَحْوُهُ.




Arti bebasnya:
Imam Bukhori menulis hadits dalam bab Adabul Mufrod (pedoman tingkahlaku pribadi) halaman 144. Imam Abdurahman bin Razin berkata: “Aku berjalan bersama Rubadzah tiba-tiba dia berkata padaku: ‘Hei bukankah itu Salmah bin Al Akwa’ ra, dengan segera kami berdua mendatangi beliau dan beruluk salam. Lalu Rubadzah menjulurkan tangannya sambil bertanya pada Salmah ra : ‘Bukankah Anda telah berbaiat kepada Rasulullah saw dengan tanganmu? maka Rubadzah mengeluarkan tangan nya. Kemudian kami berdua berdiri menyambut tangannya dan kami menciumnya. Riwayat seperti ini juga telah dikeluarkan oleh Abd. Rohman bin Zaid Al ‘Iraqi menurut takhrij dari Ibn Sa’id Juz 4 hal 29.




وَاَخْرَجَ الْبُخَارِيْ اَيْضًا فِى اْلأَدَبِ ص 144 عَنْ اِبْنِ جَدْعَانِ قَالَ ثاَبِتٌ ِلأَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: أَمْسَسْتَ النَّبِىَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ فَقَبَّلَهَا. وَأَخْرَجَ الْبُخَارِى أَيْضًا فِى اْلأَدَبِ ص 144 عَنْ صَهِيْبٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ الله عَنْهُ يُقَبِّلُ يَدَ الْعَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَرِجْلَيْهِ.




Masih menurut Al Bukhori dalam bab Adab halaman 144 menuturkan bahwa Ibnu Jud’an bertanya kepada Sahabat Anas ra : ‘Apakah Anda telah menyentuh tangan Rasulullah saw? Kemudian dijawab: ‘benar!’ lalu Ibnu Jud’an men ciumnya. Masih dalam halaman yang sama, Imam Bukhori meriwayatkan bahwa Shohib berkata: ‘Saya melihat Imam Ali ra mencium tangan dan kedua kaki Sahabat Abbas ra.




عَنْ ثَابِتِ قَالَ: كُنْتُ إِذًا أَتَيْتُ أَنَسًا يُخَبِّرُ بِمَكَانِى فَأَدْخَلَ عَلَيْهِ وَآخَذَ يَدَيْهِ وَأَقْبَلَهُمَا وَأَقُوْلُ: بِأَبِىْ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ الَّلتَيْنِ مَسَّتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَقْبَلَ عَيْنَيْهِ وَأَقُوْلُ: بِأَبِىْ هَاتَيْنِ (اَلْعَيْنَيْنِ) اللَّتَيْنِ رَأَتَا رَسُوْلَ اللهِ.




Tsabit berkata: Suatu ketika aku mendatangi Anas ketika berkunjung ke tempatku maka saat dia masuk langsung aku ambil tangannya dan aku ciumi kedua tangannya aku berkata: ’Karena kedua tangan ini telah bersalaman dengan Rasulullah. Kemudian aku mencium kedua matanya dan aku berkata: ’Karena kedua mata anda telah memandang mata Rasul maka saya mencium kedua mata Anda.”




Kesimpulan:
Kebiasaan bersalaman bagi sebagian besar orang pesantren (kaum santri) sudah tidak asing lagi. Namun bila disertai dengan cium tangan tidak setiap orang mau menerimanya. Mengapa? Sebagian besar menganggap bahwa bersalaman sambil mencium tangan akarnya adalah feodalisme. Dengan dalih feodalisme atau kebiasaan peninggalan penjajah ini mereka sangat menghindari bahkan seolah-olah sesuatu yang diharamkan. Padahal salaman hanyalah adat kebiasaan yang baik, sebagai bentuk penghormatan kepada guru/kyai atau orang yang dituakan.
Mencium tangan ketika bersalaman kepada orang yang bersambung kepada Rasulullah saw adalah seperti kebiasaan para sahabat dan tabi’in zaman dahulu. Bahkan Sohabat Ali kw pernah mencium kedua tangan dan kaki Shohabat Ibnu Abbas ra.
Alasan bercium tangan mereka adalah karena orang yang tangannya dicium tersebut meyakini telah bertemu dan bersambung kepada Rasul.
Untuk zaman sekarang, jika kita bersalaman sambil mencium jangan khawatir karena guru/ulama kita itu telah bersalaman dengan guru sebelumnya dan guru sebelumnya itu terus menerus bersambung kepada Rasulullah saw. Wallahu A'lam bimuroodih

Hai Pemuda, Jangan Sia-siakan Hidupmu!


Refleksi Hari Kemenangan
Kemenangan dalam pandangan seorang juara sejati adalah tatkala hasil kerja kerasnya bisa ia syukuri layaknya bukan atas kerja kerasnya sendiri. Ia yakin semua keberhasilan tersebut adalah atas berkat rahmat dari Allah SWT Sang Maha Pemberi. Namun, sangat disayangkan apabila keberhasilan itu kini melenakan setiap juara menjadi seperti pecundang di dalam perjalanan hidup selanjutnya. Mengapa? Tiada lain karena waktu demi waktu yang dijalani hanya dilewatkan begitu saja tanpa melakukan suatu hal yang berarti.
Ulama, Tabiin, Sahabat Nabi dan Nabi sendiri sangat tidak suka terhadap pemuda Islam yang hanya bisa melewatkan waktunya untuk hal yang sia-sia. Modal terbesar seseorang adalah masa mudanya dan sumber kerugiannya adalah mengulur-ulurkan waktunya. Alangkah indah para pemuda yang taat pada Allah SWT maka hendaklah mereka senantiasa bergegas untuk bertaqwa. Barang siapa yang tersia-siakan waktunya maka akan menjadi bahan penyesalan untuknya terutama di alam kuburnya nanti.
Sebagian besar pemuda tak menyadari ketika mereka berkata, “Ah, gampang, nanti saja, toh kita masih muda, nanti saja kalau sudah dewasa, aku akan taat pada Allah SWT”. Sesungguhnya mereka inilah yang ditipu dan hatinya telah lalai dan tertutupi oleh rayuan iblis. Alangkah celaka mereka yang tak mau bertaubat di saat muda dan tidak mau melihat kekurangannya.
Teman yang Dicari
Para orang tua sering menghimbau kepada para pemuda, “Hai Pemuda, Apabila kau ingin mengikuti jejak Sang Nabi, maka jauhilah teman-teman yang dapat merusakmu.” Memang benar, teman adalah salah satu faktor penting bermanfaat atau tidaknya waktu yang kita gunakan. Kawan yang pantas dipilih adalah kawan yang dapat membimbing seseorang ke dalam kebaikan. Seseorang akan selalu mengikuti perilaku sahabatnya. Tatkala ia bersama dengan orang yang soleh, niscaya ia akan menjadi obat bagi hatinya, menambah semangat dalam jiwanya dan meningkatkan ketabahan dalam sikap dan perbuatannya. Sementara, apabila ia bersama dengan orang yang bodoh, niscaya hanya akan menambah penyakit hatinya.
Orang-Orang Yang Dijamin Sia-Sia Amalnya
Berikut ini beberapa contoh orang-orang yang hidupnya  sudah dipastikan dalam Al-Qur’an akan sia-sia dan merugi di Akhirat nanti. Siapakah mereka?
1.Kafir: Non Muslim
”Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka” (Ar-Ra’d: 14).
Untuk yang satu ini, tentunya kita tak perlu membahasnya. Mereka sudah jelas-jelas akan dimasukkan ke dalam nerakanya Allah SWT.
2.Murtad: Orang-orang Islam yang keluar dari agama Islam
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Albaqarah :217)
Sebagai seorang pemuda, kita patut menjaga keseharian kita dengan nilai Islami. Mengapa? Banyak yang keluar dari Islam terutama mereka yang beranjak dewasa karena tidak menemukan keterikatan kepada Allah SWT. Apalagi mereka yang sedang menjalin cinta dengan pasangan yang non Islam, muslim tersebut dengan rela mengkhianati Tuhannya demi Cintanya pada sang pasangan. Na’udzubillahi min dzalika.
3.Musyrik: Orang-orang yang menyekutukan Allah SWT
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka” (At-Taubah: 17)
Musyrik terutama mereka yang bersekutu dengan jin/iblis, para dukun sihir, dan setiap orang yang mempercayai kekuatan yang berasal dari selain Allah niscaya ia akan dicap oleh Allah sebagai seorang yang Musyrik. Tentunya kita tidak mau ikut-ikutan dicap oleh Allah sebagai Musyrik. Tetapi banyak sekali praktek di Indonesia yang sulit dihindari dari hal-hal tersebut. Masih banyak orang-orang yang percaya pada ramalan para dukun baik bertemu langsung maupun yang sekarang sedang marak yakni melalui layanan SMS. Tsumma Na’udzubillah…
Apa yang perlu diisi dalam waktu-waktu kita?
1.Istiqomah Bertaqwa kepada Allah SWT
Abul Qasim Al Qusyairi berkata: “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah di dalam melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”.
2.Niat Berbuat Baik Sebanyak-banyaknya
Pengarang kitab Al Ifshah dalam salah satu pernyataannya mengatakan: Sesungguhnya tatkala Allah mengurangi umur umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Allah mengganti kependekan umurnya itu dengan melipat gandakan pahala amalnya”. Barang siapa berniat berbuat baik maka dengan niatnya itu ia mendapatkan satu kebaikan penuh, sekalipun sekadar niat. Allah jadikan niatnya itu sebagai kebaikan penuh agar orang tidak beranggapan bahwa niat semata-mata mengurangi kebaikan atau sia-sia. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan dengan kata “kebaikan sempurna” dalam hadits ke-37 Kitab Arba’un Nawawiyah. Jika seseorang berniat baik lalu melaksanakannya, hal itu berarti telah keluar dari lingkup niat menjelma kepada amal. Niat baiknya ditulis sebagai suatu kebaikan, kemudian perbuatan baiknya digandakan. Hal ini semua tergantung pada ikhlas atau tidaknya niat pada masing-masing perbuatan.
Pesan Nabi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.
Nah, saudaraku yang dirahmati Allah SWT, melalui hadits tersebut secara tegas Nabi SAW menunjukkan ketidaksukaannya kepada umatnya yang berbuat sia-sia. Akankah kita sebagai umatnya Nabi Muhammad SAW yang sangat beliau cintai hingga akhir hayatnya ia berkata: “Ummati Ummati Ummati (Umatku umatku umatku)” saja kita khianati? Bagaimana kepada Sang Tuhan ArRahman ArRahim? Yang menyayangi makhluqnya melebihi apa-apa yang ada di alam ini?
Duhai pemuda yang beridolakan Rasulullah SAW, saatnya menjunjung Ghiroh (semangat) Cinta Allah dan rasul-Nya dan isilah hidupmu dengan setiap perbuatan yang tak terlepas daripadanya cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Wallahu A’lam. KHAN



BERMAIN RABANA DI MASJID

Saudaraku yang kumuliakan, Di dalam madzhab syafii bahwa Dufuf (rebana) hukumnya Mubah secara Mutlak (Faidhulqadir juz 1 hal 11), diriwayatkan pula bahwa para wanita memukul rebana menyambut Rasulullah saw disuatu acara pernikahan, dan Rasul saw mendengarkan syair mereka dan pukulan rebana mereka, hingga mereka berkata : bersama kami seorang nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi”, maka Rasul saw bersabda : “Tinggalkan kalimat itu, dan ucapkan apa apa yang sebelumnya telah kau ucapkan”. (shahih Bukhari hadits no.4852), juga diriwayatkan bahwa rebana dimainkan saat hari asyura di Madinah dimasa para sahabat radhiyallahu ‘anhum (sunan Ibn Majah hadits no.1897)

Dijelaskan oleh Imam Ibn Hajar bahwa Duff (rebana) dan nyanyian pada pernikahan diperbolehkan walaupun merupakan hal lahwun (melupakan dari Allah), namun dalam pernikahan hal ini (walau lahwun) diperbolehkan (keringanan syariah karena kegembiraan saat nikah), selama tak keluar dari batas batas mubah, demikian sebagian pendapat ulama (Fathul Baari Almasyhur Juz 9 hal 203).

Menunjukkan bahwa yang dipermasalahkan mengenai pelarangan rebana adalah karena hal yang Lahwun (melupakan dari Allah), namun bukan berarti semua rebana haram karena Rasul saw memperbolehkannya, bahkan dijelaskan dengan Nash Shahih dari Shahih Bukhari, namun ketika mulai makna syairnya menyimpang dan melupakan dari Allah swt maka Rasul saw melarangnya, Demikianlah maksud pelarangannya di masjid, karena rebana yang mengarah pada musik lahwun, sebagian ulama membolehkannya di masjid hanya untuk nikah walaupun Lahwun, namun sebagian lainnya mengatakan yang dimaksud adalah diluar masjid, bukan didalam masjid,

Pembahasan ini semua adalah seputar hukum rebana untuk gembira atas akad nikah dengan lagu yang melupakan dari Dzikrullah.

Berbeda dengan rebana dalam maulid, karena isi syairnya adalah shalawat, pujian pada Allah dan Rasul Nya saw, maka hal ini tentunya tak ada khilaf padanya, karena khilaf adalah pada lagu yang membawa lahwun. Sebagaimana Rasul saw tak melarangnya, maka muslim mana pula yang berani mengharamkannya, sebab pelarangan di masjid adalah membunyikan hal yang membuat lupa dari Allah didalam masjid, Sebagaimana juga syair yang jelas jelas dilarang oleh Rasul saw untuk dilantunkan di masjid, karena membuat orang lupa dari Allah dan masjid adalah tempat dzikrullah, namun justru syair pujian atas Rasul saw diperbolehkan oleh Rasul saw di masjid, demikian dijelaskan dalam beberapa hadits shahih dalam shahih Bukhari, bahkan

Rasul saw menyukainya dan mendoakan Hassan bin Tsabit ra yang melantunkan syair di masjid, tentunya syair yang memuji Allah dan Rasul Nya.

Saudaraku, rebana yang kita pakai di masjid itu bukan Lahwun dan membuat orang lupa dari Allah, justru rebana rebana itu membawa muslimin untuk mau datang dan tertarik hadir ke masjid, duduk berdzikir, melupakan lagu lagu kafirnya, meninggalkan alat alat musik setannya, tenggelam dalam dzikrullah dan nama Allah swt, asyik ma'syuk menikmati rebana yang pernah dipakai menyambut Rasulullah saw, Mereka bertobat, mereka menangis, mereka asyik duduk di masjid, terpanggil ke masjid, betah di masjid, perantaranya adalah rebana itu tadi dan syair syair Pujian pada Allah dan Rasul Nya. Dan sebagaimana majelis kita telah dikunjungi banyak ulama, kita lihat bagaimana Guru Mulia Al hafidh Al habib Umar bin hafidh, justru tersenyum gembira dengan hadroh majelis kita, demikian pula AL Allamah Alhabib Zein bin Smeth Pimpinan Ma'had Tahfidhul qur'an Madinah Almunawwarah, demikian pula Al Allamah Al Habib Salim bin Abdullah Asyatiri yang Pimpinan Rubat Tarim juga menjadi Dosen di Universitas AL Ahqaf Yaman. Demikian AL-Allamah AL-habib Husein bin Muhamad Alhaddar, Mufti wilayah Baidha, mereka hadir di majelis kita dan gembira, tentunya bila hal ini mungkar niscaya mereka tak tinggal diam, bahkan mereka memuji majelis kita sebagai majelis yang sangat memancarkan cahaya keteduhan melebih banyak majelis majelis lainnya.

Mengenai pengingkaran yang muncul dari beberapa kyai kita adalah karena mereka belum mencapai tahqiq dalam masalah ini, karena tahqiq dalam masalah ini adalah tujuannya, sebab alatnya telah dimainkan dihadapan Rasulullah saw yang bila alat itu merupakan hal yang haram mestilah Rasul saw telah mengharamkannya tanpa membedakan ia membawa manfaat atau tidak, namun Rasul saw tak melarangnya, dan larangan Rasul saw baru muncul pada saat syairnya mulai menyimpang, maka jelaslah bahwa hakikat pelarangannya adalah pada tujuannya. Demikian saudaraku yang kumuliakan,

Wallahu a’lam

BULETIN PENYEJUK HATI

                                                                                                                               
  

 
Edisi 1


  

 
Edisi 2
  

 
Edisi 3

  

 
Edisi 4


  

 
Edisi 5
  

 
Edisi 6
  

 
Edisi 7


  

 
Edisi 8
  

 
Edisi 9
  

Edisi 10

  

Edisi 11


  

Edisi 12

  

Edisi 13


  

Edisi 14

  

Edisi 15


  

Edisi 16
  

Edisi 17


  

Edisi 18
  

Edisi 19

  

Edisi 19 Versi Cetakan Asli
  

Bonus: Jadwal Haul & Maulid