Rabu, 25 November 2009

MoU - QURBAN dan HAJI

Memorandum of Understanding
QURBAN dan HAJI
QURBAN
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada “Al-mukhbitin” (orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)) (Ref: AlHajj: 34)
Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir-nya, menyebutkan bahwa ibadah Qurban sebagaimana yang telah disebutkan di awal ayat diatas, perintah berkurban sudah diperintahkan sejak dulu di setiap melalui para Nabi. Perintah Qurban itu diiringkan dengan perintah supaya menyebut nama Allah atas qurban yang disembelih sebagaimana ketika Rasulullah datang membawa dua ekor domba bagus dan bertanduk, beliau menyebut nama Allah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas pelipis dua ekor domba tersebut. (Ref: hadits dari Anas dalam As-Shahihain).
Di kalimat selanjutnya “maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.”, menerangkan bahwa para Nabi meskipun syariatnya bermacam-macam, keseluruhannya menyeru untuk menyerukan Tiada Tuhan Selain Allah dan beribadah kepada-Nya.
Meski ulama berbeda mengartikan definisi Al-Mukhbitin, namun Alangkah indah penjelasan Allah di ayat selanjutnya: (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. (Ref: AlHajj: 35).
  1. Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka. Orang yang disebut ini sudah barang tentu orang-orang yang dalam hatinya takut kepada Allah. Yang di dalam pikirnya sibuk dengan urusan ukhrawi sampai-sampai harus diingatkan oleh Allah untuk tidak melupakan dunianya. Lantas, sudahkah para hamba Allah yang mengurbankan sebagian rizkinya untuk disumbangkan (qurban) benar-benar menjalankannya karena takutnya pada Allah atau sekedar gengsi karena takut dibilang bakhil oleh orang lain?
  2. Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka. Sabar tak hanya ketika mendapatkan musibah, namun mereka yang sabar tatkala diberikan kesenangan. (Jarang sekali, sungguh jarang sekali). Lebih klimaks lagi, sabar tatkala melaksanakan taat kepada Allah. Ujian itu kadang tidak disadari. Sering sekali terlintas setiap selesai solat fardhu, “setelah ini, solat sunah tidak ya?” atau “ah, ngapain dzikir lama-lama di masjid”. Justru disinilah, setiap insan diuji kesabarannya serta kesadaran akan ujian yang datang setiap saat dalam berbagai bentuknya.
  3. Orang-orang yang mendirikan sembahyang. Jumhur ulama menyatakan bahwa kalimat ini diartikan secara idhafat bahwa yang dimaksud ialah orang-orang yang memenuhi haknya Allah yakni dengan menjalankan kewajiban/fardhu-fadhu yang telah ditetapkan.
  4. Orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rizkikan kepada mereka. Poin keempat inilah, yang menjadi fokus dhohir kegiatan ibadah Qurban sebagai bentuk muamalah / sosial. Karena inti perintah Allah kepada Hamba-Nya ada dua: Mengagungkan Allah dan tidak menyakiti manusia/sekitar. (Ref: Kitab Nashoihul Ibad)

HAJI
Mari kita simak hadits berikut, Nabi bersabda: “Siapa yang tidak mempunyai kebutuhan yang sangat pokok, penyakit yang parah, atau penguasa yang lalim yang menghalanginya dari naik haji lalu ia meninggal dunia sebelum menunaikan ibadah haji, maka boleh jadi ia mati sebagai orang Yahudi dan Nasrani.” (Ref: AlHadits) Ya Allah Rabbi, Na’udzubillahi min Dzalika.
Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim segera menunaikan haji di saat mampu. Jangan sampai ditunda kesempatan baik tersebut, sebab bisa saja ia keholangan kesempatan itu dikarenakan meninggal dunia, maka kewaajiban itu tetap menjadi tanggunganmu hingga nanti dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ceroboh seperti tersirat dari hadits diatas.
Pernyataan diatas tidak jauh maknanya dengan ayat Allah berikut ini:

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh“(Ref: Al-Hajj:27)

Lantas, apa saja yang perlu dipersiapkan dan dilakukan terkait ibadah haji? Sayyid Abdullah bin Alwi AlHabsyi selanjutnya menjelaskan dalam kitabnya, Risalatul Muawanah, 3 poin sebagai berikut:
  1. Sebelum menunaikan haji, diwajibkan mempelajari kewajiban, sunnah, dan dzikr yang berkaitan dengan manasik haji, segala sesuatu yang berkaitan dengan Ka’bah, keringanan di perjalanan.
  2. Jangan campuri ibadah haji dengan perniagaan. Sebaiknya jangan membawa kekayaan berlebihan melainkan cukup harta untuk biaya hidup selama perjalanan serta jauhi pula segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi dalam ibadah dan mengagungkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi.
  3. Jangan lupa berziarah ke kubur Nabi seperti yang beliau perintahkan dalam haditsnya yang mu’tabar. Karena berziarah sesudah wafat beliau sama fadhilahnya dengan seperti ziarah saat beliau hidup. Sesungguhnya Rasulullah dan para Nabi sebelumnya senantiasa hidup.
Sungguh kurang sopan bagi seseorang yang berhaji tanpa berziarah ke kubur beliau sedangkan ia tak mempunyai uzur yang dibenarkan oleh syariat.

Ketahuilah, seandainya Anda sengaja datang dari negeri Islam yang jauh langsung untuk berziarah kepada Nabi SAW, Anda masih belum mampu memenuhi hak syukur atas nikmat hidayat yang diberikan Allah SWT kepada Anda melalui perantaraan beliau SAW (karena begitu besarnya jasa Nabi SAW). Apalagi yang tidak ziarah?

Tujuh Takbir …

Tujuh Takbir …
 
… ALLAHU AKBAR WA LILLAAHILHAMDU
Allahu akbar!

Bayangkan Anda sudah lama sekali kepingin mempunyai anak; kemudian setelah hampir putus asa, Allah menganugerahi Anda seorang anak yang luar biasa cantik. Anak itu kemudian tumbuh sebagai anak yang baik dan pintar. Kemudian setelah menginjak remaja, tiba-tiba anak Anda itu meninggal. Bagaimana kira-kira perasaan anda?

Allahu Akbar!
Nabi Ibrahim -'alaihis salaam- seperti diketahui, sudah lama ingin mempunyai anak dan baru ketika sudah sangat tua Allah menganugerahi seorang anak yang rupawan dan pintar, nabi Ismail -alaihis salaam. Dan cerita selanjutnya Anda sudah tahu. Nabi Ismail a.s. tidak 'hanya' meninggal, tapi sang ayah sendiri diminta untuk menyembelihnya. Anda pasti tidak bisa membayangkannya. Bagaimana seorang ayah yang sudah lama mendambakan anak, ketika dambaan itu akhirnya terwujud dan si anak sudah ketok moto (baca: di depan mata), disuruh menyembelih.

Bagi kacamata kita, terutama di zaman akhir ini, hal itu tentu sangat musykil. Antara lain karena kita sudah terbiasa dengan sikap kemilikan, suka memiliki. Jangankan yang milik kita sendiri, milik orang lain pun sering kali kita ingin miliki atau kalau bisa kita rampas untuk kita sayang-sayang. Dan adakah hak milik yang lebih berharga dan lebih kita sayangi melebihi anak, belahan hati?

Tapi, Allahu Akbar!

Nabi Ibrahim a.s. yang dijuluki KhalilulLah itu sama sekali tidak merasa musykil. Karena bagi sang kekasih Allah itu, gerak-gerik lahir maupun batinnya berawal dari Kekasih Agungnya, Allah SWT. Ialah yang pertama dan paling utama (Bandingkan dengan kebanyakan kita yang memposisikan Allah di paling belakang. Biasanya setelah kepepet!). Maka bukan Ismail belahan hatinya, bukan kenangan pendambaan dan kebahagiaannya bersama puteranya itu, bukan perintah menyembelihnya, bukan bayangan kehilangan sesudahnya, dan bukan sesuatu apapun yang lain; yang pertama-tama tersirat saat diperintah -seperti setiap saat- adalah Sang Kekasih yang memerintah.

Allahu Akbar!
Barangkali yang tersisa dari rasa sayang manusiawinya hanyalah yang menampak dari pemberitahuannya kepada sang putera, "Ya bunayya, inni aaraa fil manaami anni adzbahuka, fandhur madzaa taraa?!", "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam tidurku, aku menyembelihmu; maka pertimbangkanlah, apa pendapatmu?" Dan, Bak Bapak Bak Anak, Kacang ora tinggal lanjarane, jawaban Nabi Ismail a.s. pun menunjukkan kualitasnya sebagai hamba Allah yang titik pandang dan pertimbangannya bermula dari-Nya, "Ya abati if'al maa tu'mar, satajidunie insya Allahu minash-shaabirien.", "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk orang-orang yang tabah."

Allahu Akbar!
Dua pengorbanan agung dari dua hamba Allah yang begitu total kepasrahannya. Demi Tuhan mereka, yang satu mengikhlaskan miliknya yang paling disayang: anaknya; yang lain mengikhlaskan nyawanya sendiri. Maka adalah nyata apa yang mereka nyatakan, "Inna shalaatie wa nusukie wa mahyaaya wa mamaati lillahi Rabbil 'aalamien. Laa syarieka lahu wabidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimien.", "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah milik Allah Tuhan semesta alam, tak ada yang ikut memiliki bersamanya; dan dengan yang demikian itulah aku diperintah dan akulah yang pertama-tama menyerahkan diri kepadaNya."

Allahu Akbar!
Alangkah jauhnya teladan itu dari kita. Sekedar mengorbankan sedikit saja dari apa yang kita anggap milik kita, rasanya berat bagi kita. Apalagi menyadari bahwa semua yang ada pada kita pada hakikatnya milik Allah semata. Kita memerlukan berbagai kiat dan rekayasa dalam memotivasi diri kita untuk sekedar merelakan sebagian kecil 'milik' kita. Untuk membeli seekor kambing saja, kadang-kadang kita harus menghitung-hitung dan mempertimbangkan dari berbagai sudut, dari segi untung-rugi, dsb. Seringkali setelah pertimbangan yang njelimet, akhirnya kita tidak jadi membeli kambing. Kalau pun akhirnya jadi membeli untuk kurban demi Allah, kita pun memasang harapan pahala berlipat-ganda.

Itu tidak hanya yang berkaitan dengan harta 'milik' kita yang bersifat materi. Di luar itu, ada yang lebih tidak tersadari oleh kebanyakan kita. Acap kali untuk memenuhi perintah Allah, kita begitu bakhil berkorban. Misalnya untuk memenuhi perintah persaudaraan, kita enggan mengorbankan sedikit penghormatan kepada sikap orang lain atau sekedar mendengarkan pendapatnya. Semua orang Islam yang naik haji, sudah pasti mendambakan ibadah hajinya mabrur. Ironinya, karena keinginan yang begitu besar mendapatkan haji mabrur, banyak yang enggan berkorban bagi kepentingan mulia lain yang juga diperintahkan Allah atau bagi menjauhi larangan-Nya. Tengoklah mereka yang bertengkar (dilarang Quran dengan firman, "wa laa jidaala") berebut shaf salat atau tempat-tempat mustajab. Atau yang lebih parah lagi, tengoklah mereka yang 'mati-matian' berusaha mencium Hajar Aswad itu. Tak ada satu pun di antara mereka yang rela berkorban untuk saudaranya sesama muslim, bahkan perilaku mereka yang menyikut kesana-kemari itu, mengesankan seolah-olah mereka sedang melakukan 'jihad fi sabilillah' dan menganggap saudara-saudara mereka yang lain adalah musuh-musuh mereka.

Allahu Akbar!
Orang yang terlalu menyintai apa yang dianggap miliknya -termasuk dirinya, pendapat, dan pendiriannya sendiri- sangat sukar dibayangkan dapat membuktikan cintanya kepada Allah melalui pengorbanan yang tulus. Maka sikap yang terbaik -tentu saja- seperti yang diajarkan Pemimpin Agung kita nabi Muhammad SAW, ialah sikap tawassuth, sederhana, sak madiyo, tengah-tengah dalam segala hal; termasuk dalam menyintai dan membenci. Dengan demikian kita akan dapat memurnikan pemujaan kita kepada-Nya sendiri dan ringan berkorban untuk-Nya.

Wallahu a'lam. Selamat berhari raya!
Min syaikhi…
KH Mustofa Bisri

Selasa, 24 November 2009

Sayap-sayap Muslim, Keseimbangan Menuju Aktualisasi Islam

Sayap-sayap Muslim, Keseimbangan Menuju Aktualisasi Islam
Sebuah Refleksi Awal dari Rajab ke Sya’ban Menuju Ramadhan

Benarkah manusia itu bersayap? Istilah pada judul tersebut hanyalah metafora saja. Namun bila dibandingkan dengan kupu-kupu, sayap merupakan hasil Metamorfosis. Nah, dalam diri manusia pun puasa dianggap sebagai proses purifikasi total yang mirip metamorfosis. Dari proses “mbrongsongi” lalu menjadi kepompong dan lahirlah sayap bagi ulat yang semula hina berubah menjadi kupu-kupu nan indah. Giliran pada manusia, bagaimana bentuk sayapnya dan adakah manfaat mbrongsongi” (metamorphosis) itu?

Teringat dengan kata-kata Cak Nun di salah satu tulisan “makan itu fungsinya untuk tidak makan” katanya. Maka, saya menyimpulkan puasa itu pula fungsinya untuk tidak puasa. Maksudnya, puasa akan berguna di saat tidak puasa. Begitu pula shalat berfungsi untuk saat tidak dalam posisi shalat, sebagaimana juga zakat berguna untuk sinergi berikutnya.

Jika puasa dimaknai sebagai proses “mbrongsongi” (metamorfosis) seperti ulat, maka tentu saja setelah masa puasa itu berlalu, si ulat telah lahir menjadi individu baru: kupu-kupu bersayap dan berwarna indah. Sayapnya berguna untuk menyebarkan benih-benih kehidupan bagi kembang-kembang yang tengah berbunga.
Berkat sayapnya itulah bunga-bunga berubah menjadi buah dan buah-buahan ini bisa dipetik dan dimakan oleh manusia dan hewan. Terjadilah keseimbangan proses energisasi dengan sinergi yang terus-menerus.

Sayap dalam Hadits dan Al Qur’an
Ulat itu bersayap. Malaikat pun digambarkan bersayap seperti dalam al quran dan hadits. Dalam paham Injil, malaikat dilambangkan dengan bocah cilik yang bersayap. Saya melihat gambar ini biasanya terpahat di nisan kuburan unit Kristen.

Ruzain bin Hubaisyin berkata: Ibnu Mas’ud menceritakan kepadaku: Bahwa Nabi s.a.w telah melihat Jibril a.s mempunyai enam ratus sayap. (Al bayan 107 hadits Riwayat Bukhari Muslim)
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t Yang Maha Memberkati lagi Maha Tinggi memiliki para Malaikat yang mempunyai kelebihan yang diberikan oleh Allah s.w.t. Para Malaikat selalu mengelilingi bumi. Para Malaikat sentiasa memerhati majlis-majlis zikir. Apabila mereka dapati ada satu majlis yang dipenuhi dengan zikir, mereka turut mengikuti majlis tersebut di mana mereka akan melingkunginya dengan sayap-sayap mereka sehinggalah memenuhi ruangan antara orang yang menghadiri majlis zikir tersebut dan langit. (Al Bayan 1573, HR. Bukhari Muslim dll.)

Sayap dalam Al Quran
Allah SWT berfirman:
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Fatir: 1)

Sayap bagi Manusia
 Sayap berfungsi untuk terbang, karenanya, mesti memiliki keseimbangan. Kapal terbang bersayap karena ia terbang. Pada sayapnya terdapat mesin. Mesin ini mesti seimbang perputarannya antara sayap kanan dan kiri. Demikian juga manusia harus memiliki “sayap” yang seimbang karena hakekatnya manusia itu terus-menerus bergerak melanglang buana. Al harokah barokah, kata pepatah arab: Bergerak itu adalah keberkahan (kebaikan) bagi manusia. Manusia yang tidak bergerak ya tentu tidak bisa terbang, kalaupun bisa, istilahnya klepek-klepek (kurang sempurna)

Tentu saja sayap yang dimaksud adalah sesuatu yang bisa berguna dan menjadi penyeimbang kehidupan. Ada banyak hal yang berkaitan dan semakna dengan sayap yang harus dimiliki manusia:

1. Keseimbangan antara fikir dan dzikir
Manusia yang “bersayap” akan mampu terbang dan bisa melanglang buana antara alam fikir dan alam dzikir. Tentu saja untuk bisa seimbang antara dua pola ini, ia membutuhkan sayap. Jika kanan-kiri ini tidak seimbang maka sebagaimana layang-layang akan miring sebelah, kapalpun akan jatuh. Juga si layang-layang tidak bisa terbang .

Orang yang berpatokan pada rasio semata tentu akan kewalahan saat menghadapi hal-hal irasional. Bagaimana mungkin mau mengeluarkan zakat yang tidak mendatangkan keuntungan materi. Begitu juga shalat, menghabiskan waktu saja. Apalagi puasa, dianggap hal bodoh karena hanya melemahkan produktivitas.

2. Keseimbangan antara Kerja dan Ibadah
Ibadah melulu dalam agama kurang disukai. Apalagi kerja melulu. Nabi saw pernah menegur seorang pemuda yang diam saja di masjid tapi tidak bekerja. Karya dalam sebuah kehidupan mesti terus digenjot untuk menghasilkan nilai produktivitas yang menghasilkan karya bermacam-macam dan bermanfaat bagi kehidupan.

Sementara Ibadah (shalat), menurut salah satu puisi Cak Nun, merupakan penyatuan dari segenap karya-karya itu. Maka di sini berarti, orang yang memiliki sayap antara kerja dan ibadah akan merasa seimbang dalam pengembaraan hidupnya. Mirip burung elang yang terbang indah di angkasa. Bayangkan! Bias-bisa elang itu akan stress jika sayapnya berat sebelah. Silahkan diteliti orang-orang yang stress dalam hidup, pasti “sayapnya” ada yang terluka di salah satunya.

Masalah Indonesia, "orang pinter" persoalannya ada pada kebodohan dan kemiskinan. Maka niscaya sekali sayap antara kerja dan Ibadah ini harus dipakai bangsa ini. Maka jangan tersinggung jika bangsa kita tidak memiliki keseimbangan sayap sehingga terbangnya jungkir balik. Si miskin yang cinta harta, tidak bisa terbang karena sayap ibadahnya rusak. Sementara pada si kaya terbangnya hanya miring ke kiri saja misalnya karena hanya memiliki orientasi keuntungan semata.

3. Keseimbangan Pola Pikir Manfaat &  Bahaya
Orang yang memiliki daya keseimbangan antara manfaat dan madorot dalam pola pikirnya saya kira akan terbantu sekali dalam setiap sikap dan prilakuknya: Hati-hati, tidak ceroboh dan berorientasi manfaat. Sayap ini tentu akan terasa sekali terlihat bagi orang-orang yang berfikir dalam.

Dale Carnagie dalam salah satu bukunya menyebutkan istilah AMBAK (apa manfaat bagiku) sebagai patokan berprilaku dan bertindak. Itu adalah sebuah pola pikir yang berorientasi pada manfaat. Jika “sayap” ini terjaga, niscaya orientasi manfaatlah yang selalu diusung oleh si individu “bersayap” manis ini.

4. Keseimbangan Hukum - Hakim
Logo timbangan digunakan oleh lembaga peradilan. Filosofinya sama, harus seimbang. Ini berarti hukum, hakim dan insan peradilan harus memiliki sayap yang seimbang. Karenanya, keadilan jangan hanya pada yang berduit saja. Jika kepada yang berduit ia bisa terbang, dan kepada si papa, sayapnya tidak bisa terbang, ini sangat ironis!

Jika hakim tidak bersayap seimbang, maka bukan lembaga peradilan namanya, tetapi lembaga pembela kesalahan. Indonesia sejatinya membutuhkan para hakim yang bersayap bagus untuk bisa terbang seimbang. Bisa ditonton oleh para penikmatnya.

5. Keseimbangan Dunia Akherat
Lebih spesifik adalah orang yang beragama berorientasi pada dunia akhirat. Sebab kata Nabi saw: Addunya mazroatul akhirah, dunia adalah sawahnya akherat. Percaya pada akherat (the day after) adalah rukun iman yang kelima. Maka jika tidak percaya pada hari tersebut, sangat dikhawatirkan seorang individu tidak bisa terbang ke akhirat. Sebab hanya memiliki sayap bermerek dunia saja, ia hanya bisa terbang melanglang buana di negeri dunia.

Dalam beberapa hadits yang mengajarkan sikap pluralitas bisa ditemui misalnya:
Diriwayatkan daripada Abu Syuraih al-Khuza’iy r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Sesiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya. Sesiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah dia memuliakan para tetamunya. Sesiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah dia bercakap hanya perkara yang baik atau diam. (HR. Bukhari Muslim. Al Bayan: 31)

Menurut Istrinya, Rasulullah saw paling sering berdoa dengan ungkapan : “Robbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhiratii hasanah waqinaa adzaabannaar” “Ya Allah berikanlah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat“

Praktek puasa hanya sebulan, tapi manfaatnya adalah untuk 11 bulan kedepan (bukan bulan puasa). Jika saja 11 bulan tidak bersinergi, tentu ada sesuatu pada sayap yang telah dihasilkan dari proses metamorfosenya. Ramadhan akan datang. Meski tinggal 1 bulan, bukankah seorang Muslim sejati akan merindukan bulan paling dimuliakan dari jauh-jauh hari?

Seorang Muslim akan terbang dengan penuh percaya diri jika sayapnya indah, kuat, seimbang, dan terbentang kokoh. Dari uraian di atas, masih banyak lagi sisi-sisi keseimbangan (sayap) yang berguna dalam menegakkan kalimah Al Islam Ya’lu walaa yu’la ‘alaih (Islam agama yang paling diatas, dan tak ada lagi yang berada di atasnya). Tapi jangan terlena, bukankah umumnya Islam mahjubun (terhalang) oleh (oknum) muslimnya sendiri? Saya dan anda bisa menambahkan lagi lebih banyak sisi untuk kebaikan dan kesejahteraan bumi dan alam ini. Bagaimana menurut Anda? Wallahu a’lam. KHA

Minggu, 04 Oktober 2009

Pertemuan Rasulullah dengan Kekasihnya Menghadap Hadirat Allah SWT

Ust. Muhsin al-Hamid:
Pertemuan Rasulullah dengan Kekasihnya Menghadap Hadirat Allah SWT
Allah SWT telah menentukan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Siapa pun pasti akan ditemui oleh kematian. Tidak peduli apapun jabatan dan kedudukannya. Tua atau muda, sakit atau tidak, pria maupun wanita, jika tiba ajalnya maka tidaklah dapat dimajukan atau diundurkan walau sesaat.
Para Anbiya' telah menghadap Allah, umat-umat terdahulu telah merasakan kematian. Tidak terkecuali Nabi kita tercinta Nabi Muhammad SAW. Sebagai hamba Allah, beliau tak luput dari kematian. Hal ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 30 (yang artinya):
"Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati."
Untuk sebagian orang, kematian dianggap suatu yang menakutkan, tetapi untuk pribadi Rasulullah SAW kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu karena dengan itulah beliau berjumpa dengan Kekasihnya. Tuhan sekalian alam. Setiap kekasih akan selalu senang berkumpul dan bersua dengan yang dicintainya.
Wafat Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, dan beliau wafat pada hari Senin pula. Menurut jumhur ulama'beliau saw meninggal pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal di waktu dhuha(awal siang). Dan dikebumikan pada hari Rabu.
Hari itu hari Jumat. Rasulullah SAW jatuh sakit. Orang-orang silih ganti membesuk beliau.
Esoknya beliau masih sakit. Esoknya lagi belum sembuh. Dan seterusnya. Pada hari ke-17, hari Ahad, sakit beliau memburuk sangat. Beliau tidak kuat bangun.
Fajar merekah, Bilal r.a. mengumandangkan adzan. Seperti biasa, usai adzan, dia berjalan ke depan pintu kediaman Nabi SAW.
"Assalamu’alaika ya Rasulallah," katanya.
"Waktunya shalat, rahimakallah."
Beliau mendengar panggilan Bilal ini, namun Fathimah r.a. yang menyahut,
"Bilal, Rasulallah SAW hari ini udzur. Beliau tidak kuat bangun."
Bilal masuk kembali ke dalam masjid. Ketika hari meremang, Bilal berkata pada diri sendiri,
"Demi Allah, aku tidak akan menyeru iqamat, sebelum aku meminta izin pada Rasulullah Saw."
Dia pun kembali ke pintu rumah beliau.
"Assalamu’alaika ya Rasulallah wa barakatuh. Ash-shalah yarhamukallah (Waktunya shalat, mudah-mudahan Allah merahmatimu)."
Mendengar panggilan ini, beliau bersabda,
"Masuklah Bilal, Rasulallah SAW sangat payah, tak bisa bangun. Suruh Abu Bakar mengimami jamaah."
Bilal keluar dari kediaman beliau sembari menaruh dua tangannya di belakang kepala.
"Duh, tolonglah Gusti. Duh, putus sudah harapan. Duh, remuk redam punggungku. Andaikan ibuku tak pernah melahirkanku. Ah, tapi dia sudah melahirkanku. Andai saja aku tidak melihat kondisi Rasulullah SAW hari ini."
Setiba di dalam masjid dia berkata,
"Abu Bakar, Rasulullah SAW menyuruhmu mengimami shalat jamaah."
Abu Bakar r.a. berjalan menuju ke mihrab. Dia adalah lelaki kurus. Ketika melihat tempat di mana Rasulullah SAW biasa berdiri sekarang kosong, dia tidak tahan. Dia jatuh bergedebam. Pingsan. Orang-orang langsung gaduh. Semua menangis. Rasulullah SAW mendengar suara gaduh ini.
"Ada apa kok gaduh?" tanya beliau.
"Kaum muslimin gaduh karena kehilangan Engkau, ya Rasulallah."
Beliau memanggil Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Dengan bertelekan pada tubuh mereka, beliau berjalan ke luar ke masjid. Kemudian beliau mengimami slalat shubuh dengan cepat. Usai shalat, beliau memalingkan muka beliau yang bagus, menghadap ke arah jamaah.
"Kaum muslimin sekalian, aku titipkan kalian kepada Allah. Kalian akan berada di bawah perlindungan Allah dan keamanan-Nya. Allah menggantikanku bagi kalian. Kaum muslimin sekalian, hendaklah kalian tetap bertakwa pada Allah, tetap menjaga taat pada-Nya setelah kematianku. Aku akan segera meninggalkan dunia ini. Ini adalah hari permulaan akhiratku dan hari terakhir duniaku."
Keesokan harinya, sakit beliau bertambah parah. Allah menyampaikan wahyu pada malaikat pencabut nyawa,
"Turunlah kamu ke tempat kekasih-Ku, pilihan-Ku, Muhammad SAW dengan rupa paling bagus. Cabutlah nyawanya dengan lembut."
Maka turunlah malaikat maut. Dia berdiri di depan pintu rumah beliau dengan rupa orang Badui (pedalaman).
"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk?"
Aisyah r.a. menoleh ke arah Fathimah r.a.
"Tolong lelaki itu dijawab."
Fathimah berkata,
"Mudah-mudahan Allah membalas jalan Anda, wahai Abdullah (hamba Allah). Rasulullah SAW sedang udzur, sakit sangat parah."
Lelaki di luar pintu tersebut tidak beranjak dari tempat. Dia malah menyeru seperti tadi. Aisyah berpaling ke arah Fathimah,
"Fathimah, tolong lelaki itu dijawab."
"Mudah-mudahan Allah membalas jalanmu, tapi Rasulullah SAW sedang payah, sakit sangat parah."
Lelaki itu kembali memanggil untuk yang ketiga kali.
"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk? Saya memang harus masuk."
Rasulullah SAW mendengar panggilan ini.
"Fathimah, siapa di pintu?" tanya beliau.
"Ya Rasulallah, seorang lelaki berdiri di depan pintu. Dia minta izin untuk masuk. Kami sudah jawab berkali-kali. Lalu untuk ketiga kali dia menyeru dengan suara yang membuat bulu kudukku berdiri, bergetar seluruh tubuhku."
"Fathimah, tahukah Kamu siapa di depan pintu itu? Dia adalah penghancur kelezatan dan pemisah jamaah. Dia membuat istri-istri menjadi janda, anak-anak jadi yatim. Dia peroboh rumah-rumah dan pemakmur kubur-kubur. Masuklah rahimakallah, wahai malaikat maut."
Maka masuklah si malaikat maut. Nabi SAW bersabda,
"Malaikat maut, engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawa?"
"Aku datang untuk berziarah sekaligus mencabut nyawa. Allah memerintahkan aku supaya tidak masuk ke rumahmu kecuali dengan izinmu, dan tidak mencabut nyawamu kecuali dengan izinmu. Kalau kamu izinkan, aku masuk. Kalau tidak, aku kembali pada Tuhanku."
"Malaikat maut, di mana kau tinggalkan kekasihku, Jibril?"
"Aku tinggalkan dia di langit dunia. Sementara para malaikat lain bertakziah kepadanya untuk Baginda."
Tak lama kemudian Jibril a.s. datang. Dia duduk di damping kepala beliau.
"Jibril, ini adalah keberangkatan dari dunia. Berilah aku kabar gembira, tentang aku kemudian Allah."
"Pintu-pintu langit telah dihias bagus. Para malaikat berdiri berbaris memakai wewangian dan dengan ucapan selamat. Mereka hendak menyongsong ruhmu, Muhammad."
"Hanya untuk Allah segala pujian. Berilah aku kabar gembira, Jibril."
"Aku beri kabar gembira bahwa pintu-pintu surga telah dihias indah. Bengawan-bengawannya sudah dialirkan. Pohon-pohonnya sudah berjuntai ke bawah. Para bidadarinya telah bersolek guna menyambut kedatanganmu, Muhammad."
"Hanya bagi Allah segala pujian. Beri aku kabar gembira, Jibril."
"Engkau bakal menjadi orang yang pertama kali memberi syafaat, dan orang pertama yang diberi syafaat pada hari kiamat."
"Hanya bagi Allah segala pujian."
"Kekasihku, tentang apakah Engkau hendak bertanya?"
"Aku ingin bertanya mengenai kegundahanku. Siapakah (penjaga bagi) pembaca-pembaca Quran setelahku? Siapakah yang berpuasa bulan Ramadhan setelahku? Siapakah berhaji ke Baitullah setelahku? Siapakah umatku yang terpilih setelahku?"
"Berbahagialah, kekasih Allah, karena Allah SWT berfirman, ‘Aku telah mengharamkan surga bagi seluruh nabi dan seluruh umat samapai Engkau memasukinya, dan umatmu.’"
"Sekarang hatiku lega. Malaikat maut, tunggu apa lagi, laksankan apa yang diperintahkan padamu."
Ali r.a. berkata,
"Ya Rasulallah, kalau nyawamu telah dicabut, siapakah yang akan memandikan jasadmu? Bagaimana kami mengkafanimu? Siapakah yang menyalatimu? Dan siapa yang masuk ke kuburmu?"
Beliau bersabda,
"Ali, adapun soal memandikan, hendaklah Engkau yang memandikanku. Al-Fadhal bin Abbas akan menuangkan air padamu, dan Jibril adalah orang ketiga dari kalian berdua. Kalau kalian sudah memandikanku, kafanilah aku dengan tiga lembar kain kafan yang baru, dan Jibril akan membawakan wewangian (untuk kafanku) dari surga. Bila kamu telah meletakkan jasadku di atas keranda, letakkan aku di dalam masjid. Keluarlah kalian, tinggalkan aku sendiri karena yang pertama kali shalat (memberi rahmat) padaku ialah Allah dari atas ‘Arasy-Nya. Lantas Jibril a.s., Mikail a.s., kemudian Isrofil a.s., menyolatiku. Selanjutnya para malaikat secara berkelompok-kelompok. Setelah itu, masuklah kalian ke dalam masjid. Berdiri berbarislah kalian dalam shaf-shaf. Tak seorang pun boleh maju daripada yang lain (menjadi imam)."
Fathimah r.a. berkata,
"Hari ini adalah hari perpisahan. Kapankah aku dapat menjumpaimu?"
"Pada hari kebangkitan (hari kiamat), lalu di telaga. Aku memberi minum pada orang-orang dari umatku yang datang ke telagaku."
"Kalau aku tidak dapat bertemu denganmu?"
"Di timbangan (Mizan). Aku akan memberi syafaat pada umatku"
"Kalau aku tidak jumpa?"
"Di Shirathal Mustaqim. Aku akan menyeru, ‘Tuhan, selamatkanlah umatku dari neraka.’"


Sakaratul Maut
Malaikat mendekat dan mulai mencabut nyawa beliau dengan lembut. Ketika ruh sampai di dua lutut, beliau berseru,
"Auh."
Ruh terus bergerak. Saat ruh sampai di pusar, beliau tersenyum,
"Oh sedihku."
Fathimah menyahut,
"Betapa sedihku, Ayahanda."
Ketika ruh mencapai dada, beliau bersabda,
"Jibril, betapa pahitnya kematian."
Jibril memalingkan mukanya. Dan beliau bersabda,
"Jibril, apa kamu tidak suka melihat keadaanku?"
"Kekasihku, siapa yang tahan melihatmu yang mengalami sakaratul maut?"
Lantas, beliau menghembuskan nafas terakhir. Ruh telah dicabut dari jasad beliau seluruhnya.
Kemudian, Ali memandikan jasad beliau, sementara Ibnu Abbas menuangkan air untuknya, dan Jibril berdiri menunggui.
Setelah itu, beliau dikafani dengan tiga lembar kain. Lalu dibawa di atas keranda ke dalam masjid. Setelah meletakkan keranda di sana, orang-orang keluar. Allah yang pertama memberi rahmat pada beliau. Dilanjutkan Jibril, Mikail, dan para malaikat menyalati.
"Kami mendengar suara ‘hm'yang bersahutan di dalam masjid, padahal kami tidak melihat satu sosok pun." kenang Ali.
Kemudian kami mendengar suara tanpa wujud,
'Masuklah kalian rahimakumullah. Shalatilah nabi kalian SAW.’
Maka kami masuk dan berdiri dalam shaf-shaf sebagaimana beliau perintahkan. Tak seorang pun dari kami maju. Kami bertakbir bersama takbir Jibril."
Kemudian upacara pemakaman. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., dan Ibnu Abbas r.a. masuk ke liang kubur, dan jasad beliau dikuburkan. Ketika orang-orang bubar, Fathimah r.a. berkata kepada Ali r.a., suaminya,
"Abal Hasan, kalian telah mengubur Rasulullah?"
"Ya."
"Tega sekali kalian menguruk jasad beliau dengan tanah. Tidak adakah rasa sayang di hati kalian kepada Rasulullah SAW? Bukankah beliau pembimbing ke arah kebajikan?"
"Tentu, Fathimah. Tetapi keputusan Allah tidak ada yang dapat menolak."
Seketika Fathimah menangis mengguguk.
"Oh ayah, sekarang terputuslah Jibril. Dulu Jibril biasa mendatangi kami membawa wahyu dari langit."
Beliau SAW menutup kehidupan dunia ini dengan ridho dan diridhoi oleh Allah SWT pada usia 63 tahun. Ketika meninggal, jasad beliau ditutupi kain dari Yaman. Para sahabat yang mendengar berita itu, spontan terkejut dan kaget seakan tidak percaya bahwa Nabi telah betul-betul menghadap Allah.
Umar bin Khattab awalnya mengingkari berita kematian Nabi itu, Utsman bin Affan pura-pura tuli sedang Ali bin Abi Thalib jatuh lemas. Dan sahabat yang lain menangis tertunduk lemah. Sungguh tidak ada yang lebih kuat menahan diri pada saat itu kecuali 'Abbas, paman Nabi dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Beliau dikafani dengan tiga lapis kain putih, dihamparkan karpet merah di bawah jasad Nabi ketika akan dikubur.
Yang mengurus pembuatan lahat Rasulullah SAW adalah sahabat Abu Thalhah. Beliau dikuburkan di rumah isteri tercintanya Sayyidah 'Aisyah r.a. dan setelah itu dikubur pula berdampingan dengan beliau dua sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. KRK

Tentang Shalat Tasbih

Kita sering mendengar yang namanya sholat tasbih, sebagian besar umat Islam sering melakukannya, karena merupakan salah satu sholat sunnah yang mana bisa dilakukan pada malam hari. maupun pada siang hari. Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengatakan “Sholat tasbih ini adalah merupakan sholat yang pernah dilakukan oleh Rosululloh Saw, makanya kalau bisa alangkah baiknya bagi orang Islam untuk melakukannya minimal dalam seminggu sekali atau kalau tidak mampu mungkin dalam sebulan cukup sekali”.

Adapun tendensi hadis yang digunakan oleh ulama’ yang mengatakan bahwa sholat tasbih adalah sunnah berupa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sholat bab sholat tasbih, Imam Turmuzi, Ibnu Majjah dalam kitab Iqoomah Assholah bab sholat tasbih, Ibnu Khuzaimah, Imam Baihaqi dalam bab sholat tasbih, Imam Thobroni dalam Mu’jam Alkabir dari Ibnu Abbas dan Abu Rofi’ bahwa dalam syarah hadis, Nabi telah menjelaskan kepada pamannya Abbas Bin Abdul Mutholib suatu amalan yang mana kalau dikerjakan oleh beliau dapat menyebabkan diampuni dosannya baik yang akan datang maupun yang telah lewat, salah satu amalan tersebut adalah sholat tasbih.

Adapun pakar hadis dalam menganalisa hadis ini melalui jalur sanad maupun matan terjadi perbedaan, diantara ulama’ ada yang mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih, ada lagi yang mengatakan bahwa hadis ini adalah lemah, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa hadis ini sampai kederajad maudlu’.

Di antara pakar hadis yang mengatakan bahwa hadis ini shohih adalah Imam Muslim, Ibnu Khuzaimah, Imam Hakim, Ibnu Sholah, Alkhotib Albaghdadi, Al Munzhiri, Imam Suyuti, Abu Musa Almadini, Abu Said Al Sam’ani, Imam Nawawi, Abu Hasan Almaqdasi, Imam Subuki, Ibnu Hajar Al Asqolany, Ibnu Hajar Al Haitamy, Syekh Albani, Syekh Syuab Al Arnauth, Ahmad Syakir dan masih banyak lagi ulama’ yang lain.

Imam Hakim mengatakan bahwa yang menjadikan standar hadis tentang sholat tasbih shohih adalah terbiasa dikerjakan mulai para Tabiit Tabi’in sampai zaman sekarang .

Imam Daruqutni mengatakan hadis yang paling shohih dalam keutamaan surat adalah hadis yang menjelaskan keutamaan surat Al Ikhlas dan hadis yang paling shohih dalam keutamaan sholat adalah hadis yang menjelaskan tentang sholat tasbih.

Demikian juga Syekh Muhammad Mubarokfuri mengatakan bahwa hadis yang menjelaskan tentang sholat tasbih tidak sampai turun pada derajat hadis hasan.


Sedangkan pakar hadis yang mengatakan bahwa hadis ini dhoif adalah Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Mizzi, Syekh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah dan Imam Syaukani, sehingga dalam madzhab Hambali dijelaskan bahwa barang siapa yang melakukan sholat tasbih hukumnya adalah makruh akan tetapi seandainya ada orang yang melaksanakan sholat tersebut tidak apa-apa, karena perbuatan yang sunnah tidak harus dengan menggunakan dalil hadis yang shohih, namun pada akhirnya Imam Ahmad menarik fatwanya dengan mengatakan bahwa sholat tasbih adalah merupakan sesuatu amalan yang sunnah.


Adapun pernyataan Imam Ibnu Jauzi yang memasukkan hadis ini dalam kategori hadis maudlu’ mendapat banyak kritikan dari pakar hadis, mereka menganggap bahwa Ibnu Jauzi terlalu mempermudah dalam menghukumi suatu hadis sehingga hukum hadis yang sebetulnya shohih ataupun hasan kalau tidak sesuai dengan syarat yang beliau tetapkan langsung dilempar dalam hukum maudlu’.

Dari kajian sanad yang telah dilakukan oleh pakar hadis dapat disimpulkan bahwa hadis ini adalah hasan atau shohih karena banyaknya jalan periwayatan dan tidak adanya cacat, adapun yang mengatakan bahwa hadis ini adalah dloif karena hanya melihat satu jalan periwayatan saja dan tidak menggabungkan jalan periwayatan yang satu dengan yang lain, adapun pendapat Ibnu Jauzi tidak bersandarkan pada dalil yang kuat sehingga lemah untuk bisa diterima sebagai sandaran hukum.

Adapun cara kita melakukan sholat tasbih sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab fikih ada dua cara, yaitu sebagaimana berikut:

  1. Melakukan sholat tasbih sebanyak empat rakaat, dimulai dengan takbir ikhrom setelah itu membaca doa istiftah kemudian membaca surat alfatihah dan membaca surat kemudian membaca: Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar wa laahawla walaaa quwwata illaabillahil ‘aliyyil adhim Sebanyak 15 kali kemudian ruku’ dengan membaca subhanallahil ‘adhim wabihamdihi Sebanyak 3 kali kemudian membaca subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah Allahu akbar Laa hawla walaa quwwata illaabillaahil’aliyyil adhim Sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku membaca Robbanaa lakalhamdu hamdan thoyyiban katsiran mubaarokan Kemudian membaca subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah Allahu akbar Laa hawla walaa quwwata illaabillaahil’aliyyil adhim. Demikian juga dalam sujud dan ketika bangun dari sujud, akan tetapi diperhatikan bahwa bacaan ini (subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah Allahu akbar Laa hawla walaa quwwata illaabillaahil’aliyyil adhim) juga dibaca sebelum membaca tahiyyat ( tasyahud)
  2. Setelah membaca takbir ikhrom dan doa iftitah membaca subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah Allahu akbar Laa hawla walaa quwwata illaabillaahil’aliyyil adhim Sebanyak 15 kali kemudian membaca surat alfatihah dan surat kemudian membaca: subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah Allahu akbar Laa hawla walaa quwwata illaabillaahil’aliyyil adhim Sebanyak 10 kali sebagaimana dalam cara yang pertama tadi, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam keadaan duduk istirahat (diantara dua sujud ) dan sebelum tasyahud tidak di anjurkan untuk membaca subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah Allahu akbar Laa hawla walaa quwwata illaabillaahil’aliyyil adhim.

Cara yang kedua inilah menurut Imam Ghozali yang paling baik. Demikianlah kajian hadis yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam Bishowab.


Jumat, 02 Oktober 2009

MUTIARA HIKMAH- Nasihat yang Empat

(Disarikan Sebagian dari Nashoihul Ibad, susunan Ibnu Hajar Al Asqolani)
 
4 Sahabat Nabi

* Khalifah Abu Bakar r.a. berkata:
“Ada tiga perkara, tidak akan diperoleh kecuali dengan tiga perkara: kekayaan dengan usaha keras, pemuda dengan perjuangan tinggi, dan kesembuhan dengan berobat”
* Khalifah Umar bin Khattab r.a. berkata:
“Cinta kepada seseorang adalah sebagian dari tanda berakal, berkasih sayang kepada sesama manusia adalah satu sedekah, pertanyaan yang baik adalah sebagian dari ilmu, pandai berencana adalah sebagian dari penghidupan.”
* Khalifah Utsman bin Affan r.a. berkata:
“Orang yang tidak terpengaruh dengan gemerlapnya dunia, ia termasuk orang yang dicintai Allah. Dan orang yang menghindari perbuatan dosa, ia akan dicintai para malaikat. Dan barangsiapa yang selalu memperbaiki hubungannya dengan sesama muslim, pasti ia dicintai oleh kaum muslimin”
* Khalifah Ali bin Abi Tholib r.a. berkata:
“Sesungguhnya betapa banyak nikmat di dunia ini tetapi cukuplah islam itu menjadi nikmat yang paling besar. Sesungguhnya banyak kesibukan tetapi jadikanlah taat menjadi kesibukan yang utama. Sesungguhnya banyak yang dapat diambil teladan dalam hidup ini, tetapi mati adalah ibarat dari contoh yang paling baik”

4 Kitabullah

* Dari Taurat: “Barang siapa merasa senang dengan apa yang telah Allah berikan, maka dia senang di dunia dan akhirat”
* Dari Zabur:  “Barang siapa berdikari (tidak mengharapkan pemberian orang  lain, maka dia selamat di dunia dan akhirat
* Dari Injil: “Barangsiapa dapat menundukkan syahwat, maka dia kuat di dunia dan akhirat.
* Dari Al-Quran: “Barang siapa yang dapat memelihara lisannya maka dia selamat, dia selamat di dunia dan akhirat”

4 Nasihat Ibnu Mas’ud

Abdullah bin Mas’ud ra. mengatakan bahwa ada 4 hal yang termasuk penyebab hati menjadi gelap:
* Perut yang terlalu kenyang
* Berteman dengan orang-orang zalim
* Suka melupakan dosa
* Banyak mengkhayal

4 hal yang dapat menerangi hati

* Perut yang lapar, karena mendorong untuk bangun malam dan menimbulkan rasa takut kepada Allah
* Berteman dengan orang-orang yang saleh
* Memelihara (mengingat) dosa yang telah lampau
* Tidak banyak khayalan

4 Nasihat Syekh Abubakar bin Salim:


* Berprasangka baiklah kepada sesama hamba Allah sebab buruk sangka timbul karena tiadanya taufik.
* Ridholah selalu pada Qadha’.
* Bersabarlah walaupun musibah yang kamu alami amat besar,
* dan Tinggalkanlah hal-hal yang tak ada manfaatnya bagimu supaya kamu membenahi dirimu.”

Biografi Walisongo


Menapaki Silsilah Salafush Soleh Tanah Air
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yunus:62)

    Semakin hari semakin sedikit Muslimin di Indonesia yang mau mempelajari sejarah, apalagi sejarah Biografi Para Pendahulu yang telah membantu perjuangan tegaknya Islam yang Suci ke muka bumi. Kita terlalu sering mendengar dan hafal dengan biografi dan kehidupan para artis, musisi, dsb. Tapi kita jarang sekali mengetahui orang yang sangat berjasa sehingga kita bisa lahir sebagai Muslim di Tanah Air kita. Ya, siapa lagi kalau bukan Walisongo.

    "Walisongo" berarti sembilan orang wali
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah berarti dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Sebenarnya Wali-wali yang berdakwah di Jawa tidak hanya Sembilan orang bahkan masih banyak jika disebutkan satu per satu di sini. Pada intinya, kesembilan Wali inilah yang paling menonjol di antara yang lainnya.
    Awal Masuk Islam ke Indonesia
    “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” yang diselenggarakan pada 17-20 Maret 1963 di Medan menyimpulkan antara lain bahwa Islam telah masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung dari negeri Arab dan bahwa daerah pertama yang didatangi ialah pesisir Sumatra, tempat terbentuknya masyarakat Islam serta kerajaan Islam pertama.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa diantara mubaligh-mubaligh Islam yang datang pertama kali terdapat golongan Alawiyin (keturunan Sayidina Hasan dan Sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib kw), baik yang berasal dari makkah & Madinah maupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya. Ada kemungkinan bahwa sebelum sampai ke Indonesia mereka singgah beberapa waktu di Gujarat, pantai barat India sebelum meneruskan perjalanan ke Timur (Indonesia, Malaysia, dan Filipina). Mereka berlayar ke Timur untuk berdakwah sambil berdagang, dan juga menyelamatkan diri dari pemerintahan Bani Umayah atau tidak mau melibatkan diri dalam perang saudara yang terus-menerus berkecamuk.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Alawiyin dari keturunan Ahmad Al Muhajir bin Isa memegang peranan penting dalam penyebarluasan di daerah-daerah Asia Tenggara termasuk pulau Jawa yang sampai abad XIV M masih di kuasai oleh kerajaan Majapahit yang beragama Hindu.
Terdorong oleh keinginan mencari kehidupan materi yang lebih baik di samping menyebarkan ajaran-ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia, banyak dari mereka pergi meninggalkan Hadromaut (yaman), ada yang ke Barat sampai ke Somalia, Jibuti, Eritrea, Madagaskar dan lainnya, dan adapula yang ke timur sampai ke India, Cina, Kampucea Sia, Pilipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia.
Di setiap negeri yang dikunjungi, mereka langsung membaur dengan rakyat setempat dan menggunakan nama-nama dan gelar-gelar yang dipakai secara umum. Dengan keluhuran ahlak dan kehidupan bersahaja serta ketaatan kepada agama seperti yang di warisi dari para leluhur, mereka mereka berhasil memikat hati penduduk setempat sehingga dalam waktu yang relatif singkat, Islam telah menyebar dan meluas di berbagi daerah di Asia Tenggara termasuk kepulauan Indonesia. Di antara mereka yang sangat terkenal ialah keturunan Abdul Malik bin Alwy (wafat di Tarim Hadromaut) bin Muhammad (Shohib Mirbath) bin Ali (Kholi’ Qosam) bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Arrumi bin Muhammad Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Ashshadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib kw. (Ayah) dan Sayidatuna FatimatuzZahra (Ibu) binti Rasulillah SAW.
Sayid Abdul Malik tersebut pergi dari Hadromaut dan menetap di India dan anak cucunya membaur dengan penduduk negeri dan menggunakan nama-nama dan gelar-gelar India. Dalam buku nasab kaum Alawiyin, mereka disebut sebagai keluarga Adzamat Khan. Diantara mereka pergi ke Asia Tenggara yang diantara anak cucunya kemudian dikenal di Indonesia sebagai Wali Songo. Jamaluddin Husain al-Akbar adalah orang pertama dari keluarga Adzamat Khan yang datang dan menetap di Indonesia. Ia adalah putra Ahmad Jalal Syah (lahir dan wafat di India) bin Abdullah khan bin Abdul-Malik.
  Lahirnya Para Walisongo
Jamaluddin datang ke Indonesia dengan membawa keluarga dan sanak kerabatnya, lalu meninggalkan salah seorang putranya bernama Ibrahim Zain al-Akbar di Aceh untuk mengajarkan tentang Islam, sedangkan ia sendiri mengunjungi kerajaan Majapahit di Jawa kemudian merantau lagi ke daerah Bugis (Makassar dan Ujung pandang) dan berhasil dalam penyiaran Islam dengan damai sampai ia wafat di daerah Wajo, Makassar. Ia meninggalkan tiga orang putra:
1.Ibrahim Zainuddin al-Akbar (alias Ibrahim Asmoro), wafat di Tuban Jawa Timur dan meninggalkan tiga orang putra yakni: Ali Murtadha, Maulana Ishaq (ayah dari Muhammad Ainul Yakin/Sunan Giri) dan Ahmad Rahmatulloh/Sunan Ampel (ayah dari Ibrohim Sunan Bonang, Hasyim Sunan Drajat, Ahmad Husanuddin Sunan Lamongan, Zainal Abidin Sunan Demak, Ja’far Shodiq Sunan Kudus, dan Pangeran Permadi).
2.Ali Nurul Alam, wafat di Anam (Siam) meninggalkan seorang putra yaitu Abdulloh Khan yang wafat di Kamphuchea. Dua orang putra Abdulloh Khan adalah Babulloh Sultan Ternate dan Syarif Hidayatulloh Sunan Gunung Jati.
3.Zainal Alam Barokat, putra ketiga, wafat di Kampuchea (Kamboja) atau di Cermin, meninggalkan dua orang putra yaitu Ahmad Syah Zainal Alam (Ayah Abdurrahman ArRumi Sunan Mulia) dan Maulana Malik Ibrohim Sunan Gresik.
Sementara itu, Raden Mas Syahid Sunan Kalijaga dan anaknya, Umar Sa’id Sunan Muria bukanlah Habaib (jamak dari Habib) alias Bani Alawiyin (Istilah untuk keturunan Ali dan Fatimatuzzahra dari jalur laki-laki). Sunan Muria adalah anak dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh (adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak).
Perlu diketahui pula, dari para wali itu pula, lahir keturunan yang sering kita dengar misalnya:
  • Dari Sunan Drajad, lahirlah KH. Ahmad Sawahan dan KH. Mas Mansur.
  • Dari Sunan Gunung Jati, diantara keturunannya adalah Raja dan Sultan di Cirebon dan Pangeran Jayakarta. Sementara itu Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati sendiri memiliki keturunan dari kerajaan Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Yunus, Para Kiai dan alim ulama diantaranya: Syekh Nawawi AlBantani, Tubagus Ahmad Bakri Purwakarta, Maulana Mansur, Haji Umar Syaikhan, dll.
  • Dari Sunan Giri, lahirlah keturunan dari Raja-Raja Palembang diantaranya Sultan Badaruddin dan Raja-raja Mataram, juga para Kiai dan alim ulama diantaranya: Kiai Ahmad Dahlan, Syekh Kholil Bangkalan, Kiai Mahfudz Jogja, Kiai Mansur, dll.
  Belajar Dari Walisongo
    Dari rujukan berbagai kitab sejarah yang mu’tabar, dapat kita temukan bahwa para walisongo adalah keturunan sekaligus manhaj Salafus Salih tariqoh Ba’alawi (Alawiyin) yang selalu berpegang teguh pada ajaran para leluhurnya yang secara akidah mereka menganut ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah teologi Imam Abul Hasan Al-asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturudi dan kebanyakan bermadzhab Syafi’i secara fiqih.
    Jadi, tidak heran bila para Muballigh, alim ulama, Kiai, Habaib, dan Santri di Tanah Air membawa dan mempertahankan ajaran Islam dengan manhaj tersebut hingga kita sebagai masyarakat di Indonesia dapat lahir dengan membawa Syahadat. Alhamdulillah…
    Lalu, apa bentuk terima kasih kita? Tiada lain adalah dengan mengikuti ajaran para walisongo yang telah mengenalkan kita pada Allah dan Rasul-Nya, mendoakan dan menziarahi mereka seperti yang disunahkan Nabi, dan terakhir yaitu ikut membantu perjuangan mereka dalam beramal, beribadah, dan berdakwah dengan penuh percaya diri dengan Niat seperti niatnya Rasulullah SAW. KRK
    Wallahu A’lam
Referensi:
http://www.pesantren.net
http://www.eastjava.com/books/walisongo
http://www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/introduction.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo
http://www.aswaja.net
Buku 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia
Galery Swara Muslim

Jangan Berfikir yang Bukan-bukan

QURDIS
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. AlHujurat:12)
Terkait ayat diatas, dalam kitab Risalatul Mu’awanah, Sayyid Abdullah bin Alwi Alhaddad menerangkan bahwa secara maksimal, berbaik sangka kepada setiap muslim ialah meyakini tidak adanya kejahatan dalam setiap perbuatan dan perkataannya, serta masih menemui adanya kebenaran padanya. Tetapi, jika malah kemaksiatan yang didapati dari dirinya, untuk menjaga sikap baik sangka maka seyogyanya tetaplah berusaha mencegah perbuatan tersebut sambil memperkirakan bahwa iman yang ada di dada mereka masih mampu meredam dan menghentikan segala perbuatan munkar mereka kemudian dilanjutkan dnegan bertobat secara tulus dan ikhlas.
Sedangkan kriteria buruk sangka terhadap sesama muslim ialah meyakini adanya keburukan dalam perkataan dan perbuatan mereka, padahal secara lahiriah mereka tampak baik. Misalnya, ketika engkau melihat seseorang yang rajin salat dan bersedekah, lalu engaku pun menyangka bahwa semua perbuatannya itu ia lakukan hanya untuk memperoleh pujian dari orang lain serta menginginkan harta dan kedudukan.
Sikap buruk sangka seperti ini tak akan kita dapati kecuali pada jiwa-jiwa busuk yang menghiasi diri kaum munafiqin. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (Annisa:142)
Berhati-hatilah terhadap buruk sangka. Sesungguhnya buruk sangka adalah ucapan yang paling bodoh. (HR. Bukhari)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Hindarilah oleh kamu sekalian berburuk sangka karena buruk sangka adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kamu sekalian saling memata-matai yang lain, janganlah saling mencari-cari aib yang lain, janganlah kamu saling bersaing (kemegahan dunia), janganlah kamu saling mendengki dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling bermusuhan tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. (Shahih Muslim No.4646)
Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah
Satu sifat yang lebih-lebih juga harus dijauhi setiap muslim ialah berburuk sangka kepada Allah. Allah berfirman:
"...Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah; mereka berkata: "Apakah ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini." Katakanlah: "Sungguh, urusan itu seluruhnya di tangan Allah." ..." (Ali Imran: 154)
Ibnu Al-Qayyim, dalam menafsirkan ayat diatas, mengatakan:
"Prasangka yang dimaksud ditafsirkan bahwa Allah Ta'ala tidak akan menjunjung Rasul-Nya dan agama yang beliau bawa akan lenyap; ditafsirkan pula bahwa apa yang menimpa beliau bukanlah dengan takdir Allah dan hikmah-Nya. Jadi, prasangka tersebut ditafsirkan dengan tiga tafsiran, yaitu: mengingkari adanya hikmah dari Allah, mengingkari takdir-Nya, dan mengingkari bahwa agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam akan disempurnakan dan dimenangkan Allah di atas segala agama. Inilah prasangka buruk yang diperbuat oleh orang-orang munafik dan musyrik yang tersebut dalam surat Al-Fath: 6 mengenai bagaimana Allah akan membalas perbuatan demikian itu”
"Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka Neraka Jahannam. Dan (Neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali." (Al-Fath: 6)
Adapun perbuatan ini disebut prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak patut terhadap Allah Ta'ala; tidak patut terhadap hikmah-Nya, puji-Nya dan janji-Nya yang benar.
Karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah akan memenangkan kebatilan atas kebenaran dengan kemenangan yang tetap, disertai dengan lenyapnya kebenaran; atau mengingkari bahwa segala yang terjadi dengan qadha' dan qadar Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar sekali dalam qadar-Nya, yang dengan demikian Allah berhak untuk dipuji; bahkan mengira apa yang terjadi ini hanyalah sekedar kehendak saja tanpa hikmah; maka inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail bagi orang-orang kafir itu.
Berbaik sangka terhadap Allah termasuk ibadah yang baik. (HR. Abu Dawud)
Kebanyakan orang melakukan prasangka buruk terhadap Allah, baik dalam hal yang berkenaan dengan diri mereka sendiri ataupun dalam hal yang berkaitan dengan orang lain. Tidak ada yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang arif dan tahu akan Allah, Asma' dan Sifat-Nya, dan kepastian adanya hikmah serta keharusan adanya pujian bagi Allah sebagai konsekuensinya. Maka orang yang berakal dan cinta terhadap dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan masalah ini dan bertobatlah kepada Allah serta memohon maghfirah-Nya atas prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah.
Janganlah seorang mati kecuali dia dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah. (HR. Muslim)
Apabila Anda selidiki, siapa pun orangnya, niscaya akan Anda dapati pada dirinya suatu sikap menyangkal dan mencemoohkan qadar (takdir) dengan mengatakan hal tersebut semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit, ada juga yang banyak. Dan silahkan periksa diri Anda sendiri, apakah Anda bebas dari sikap tersebut?

Kesempurnaan Puasa di Hari yang Fitri

Kesempurnaan Puasa


Hendaknya orang yang berpuasa disamping menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa, juga menjaga dirinya dari perbuatan maksiat sehingga tidak sampai masuk kedalam golongan orang yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya sebagai berikut:




Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.


Hadist di atas mengisyaratkan bahwa puasa seseorang tidak akan sempurna hanya dengan menahan diri dari lapar dan dahaga saja mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, tapi lebih dari itu puasa juga menuntut untuk menahan anggota badan dari berbagai perbuatan dosa dan keji.
Imam Ghozali menerangkan kesempurnaan puasa tersebut dengan enam hal:
  1. Menundukkan pandangan dan menahannya dari berkeliaran memandang ke setiap hal yang tercela dan dibenci, mengendalikan mata dari hal yang bisa menyibukkan hati dan melalaikan diri dari mengingat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:


Pandangan adalah salah satu anak panah beracun di antara anak panah yang diluncurkan iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepadanya keimanan yang terasa manis dalam hatinya. (HR: Hakim).
  1. Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran dan perdebatan. Mengendalikannya dengan diam, menyibukkan diri dengan dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Itulah yang disebut puasa lisan. Rasulullah SAW bersabda:


 Sesungguhnya puasa merupakan perisai; apabila salah seorang di antara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan pula berlaku bodoh.; dan jika ada seseorang menyerangnya atau mencacinya maka hendaklah ia mengatakan “sesungguhnya aku sedang berpuasa”.
  1. Menahan pendengaran dari mendengarkan hal-hal yang dibenci dan kurang baik, karena setiap hal yang diharamkan mengucapkannya diharamkan pula mendengarkannya. Allah SWT berfirman:


“ …maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka masuk ke pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan mereka. (AnNisa : 140)
  1. Menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbagai perbuatan dosa, seperti menahan tangan dan kaki dari hal yang tercela, menahan perut dari berbagai hal yang syubhat ketika berbuka, dsb. Rasulullah SAW bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Di katakan ia adalah orang yang tidak menjaga anggota badannya dari dosa dan maksiat.


  2. Tidak memperbanyak makan ketika berbuka meskipun itu makanan yang halal, karena tidak ada tempat yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang penuh dengan makanan halal. Tujuan puasa adalah pengosongan perut dan menundukkan hawa nafsu demi memperkuat jiwa menuju taqwa. Ini tidak akan terwujud dengan perut yang penuh dengan makanan.


Imam Abdullah bin Alwi AlHaddad dalam kitab Annashaa-ih Addiiniyyah berkata:
"Menjejali perut dengan bermacam-macam makanan, lantaran menuruti hawa nafsu, sehingga perut menjadi terlampau kenyang, adalah Makruh hukumnya, ia bisa menimbulkan bencana dan madharat yang banyak, diantaranya:
    • Hati menjadi keras.


    • Malas mengerjakan ketaatan.


    • Tidak bergairah melakukan Ibadah.


    • Lemah pemahamannya di dalam Ilmu pengetahuan.


    • Kurang Kebijaksanaan.


    • Kurang Rahmat dan belas kasihan terhadap orang-orang yang lemah dari kaum muslimin.


    • Enggan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.


Apabila seseorang senantiasa membiasakan dengan makanan dan minuman sekehendak hawa nafsu dan tanpa takaran, sehingga perutnya menjadi kekenyangan, maka dikhawatirkan ia bakal terjerumus ke dalam perkara yang haram dan syubhat.
Hujjatul Islam, Imam Ghazali berkata: "Perut yang kenyang dari yang halal adalah sumber kecelakaan. Apalagi jika perut di kenyangkan dengan yang haram."
Rasulullah SAW bersabda:
Tidak ada suatu tempat dipenuhi oleh anak Adam yang lebih mencelakakan daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang belakangnya. Jika itu tidak bisa dipertahankan, maka hendaknya dibagi tiga: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan. (HR Ahmad)
  1. Hendaknya setelah iftar (berbuka) hatinya gelisah penuh cemas dan harap, apakah puasanya telah diterima Allah atau tidak, sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga mengantarkan ke dalam golongan muqarrabin atau sebailnya ditolak puasanya sehingga termasuk golongan orang-orang yang dimurkai?


Dengan memperhatikan dan mengamalkan pesan imam Ghazali tentang kesempurnaan puasa tersebut, semoga Allah menerima puasa kita Amiin ya rabb.






Beberapa Hal Penting Dalam Anjuran Menyambut Hari Raya Idul Fitri


1.      Melakukan shalat 'Id dua raka'at dengan tujuh takbir selain takbiratul ihram pada raka'at pertama dan lima takbir selain takbir bangun dari sujud di raka'at kedua dan afdholnya dengan berjama'ah di Masjid bagi laki-laki, dan perempuan tua yang tidak memiliki bodi atau yang menutup auratnya secara sempurna, tidak bersolek dan tidak memakai wewangian/parfum.


Sedangkan untuk perempuan yang masih muda atau yang masih memiliki bodi maka dimakruhkan jika aman dari fitnah dan jika tidak aman dari fitnah atau tidak menutup aurat secara sempurna, atau bersolek dan bergaya atau menebarkan bau wewangian dari tubuhnya, maka hukumnya haram. (Kitab Fathul Qarib dan Kifayatul Akhyar hal. 154 juz I). Dan itu sesuai dengan riwayat sohih Sayyidah Aisyah RA. Beliau berkata:


لَوْ رَأَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسَاجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
Andaikata Rasulullah SAW melihat apa yang diperbuat kaum wanita sekarang, maka beliau pasti akan melarang mereka (hadir) ke Masjid, sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israel. (Qaul Sayyidah Aisyah)


2.      Mengisi malam ‘Idul Fithri dengan ibadah dan taqorrub kepada Allah, seperti dzkir, shalat, qiroatul Qur’an, tasbih, istighfar dan sebagainya. Juga dengan memperbanyak takbir dimana saja sampai Imam bertakbiratul Ihram untuk melaksanakan shalat 'Id. Allah SWT berfirman:
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamun (Albaqoroh: 185)


3.      Memperbanyak doa kepada Allah SWT. Karena dalam hadits disebutkan: Ada lima malam yang doanya tidak akan ditolak Allah SWT diantaranya dua malam hari raya ('Idul Fithri dan 'Idul Adha).
4.      Mandi dengan meratakan air keseluruh badan dengan niat mandi 'Id bagi semua laki-laki atau wanita, kecil atau besar, yang akan shalat atau tidak. Dan masuknya waktu mandi yaitu pada pertengahan malam hari raya.
5.      Memakai minyak wangi, berhias dan memakai pakaian yang terbagus walaupun tidak berwarna putih. Bagi perempuan juga dianjurkan dengan syarat didalam rumah dan dikalangan mahramnya.
6.      Berangkat shalat 'id dengan berjalan, kecuali jika ada udzur, dan berangkatnya melalui jalan yang jauh sedangkan pulangnya melalui jalan yang dekat (berbeda) supaya ada dua jalan yang bersaksi kelak di akhirat.
7.      Disunnahkan makan dan minum sebelum melakukan shalat 'Idul Fithri dan yang utama dengan korma yang ganjil. Adapun Idul Adha disunnahkan tidak makan sampai selesai melakukan shalat.
8.      Puasa enam hari di bulan Syawal dan utamanya langsung setelah hari raya dengan berurutan. Fadhilahnya sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa Syawwal enam hari maka dia bagaikan puasa setahun penuh. (HR Muslim)


9.     Janganlah kita menodai kesucian di hari Raya dengan kemaksiatan-kemaksiatan, diantaranya dengan menjabat tangan wanita yang bukan mahram, termasuk sepupu (misanan) dan ipar, karena hal itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Di dalam hadits disebutkan:


لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ. (رواه الطبراني)
Sungguh jika salah satu diantara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi, itu lebih baik daripada memegang wanita yang bukan mahram. (HR Thabrani)


Selamat tinggal Ya Ramadhan, Wahai waktu turunnya Al-Quran,
Engkau datang dengan segala kebaikan rahmat dan ampunan,
Ramadhan dikau cahaya petunjuk kepada iman.
Ya Rabb Pertemukanlah kami dengan bulan itu lagi di tahun mendatang.